Tantangan Defisit dan Sustainability BPJS Kesehatan

Surplus! Ketika banyak bidang usaha porak poranda karena pandemi, BPJS Kesehatan justru mencetak rekor sebaliknya. Kinerja keuangan institusi jaminan pelayanan kesehatan nasional itu membukukan kinerja positif. Tidak tanggung, arus kasnya berlebih hingga 18.7 triliun.

Sebagaimana pernyataan Prof Fachmi Idris, di akhir masa jabatannya, tidak lagi terdapat tunggakan dan gagal bayar klaim ke rumah sakit sepanjang 2020. Dijelaskan bila asumsi perbaikan atas defisit menahun BPJS Kesehatan terkoreksi melalui penyesuaian nilai iuran.
Pada rilis pemberitaan (Detik, 10/2), diungkapkan pula bila indikasi penyimpangan dan fraud bukan penyebab utama yang menjadi biang persoalan defisit BPJS Kesehatan. Disampaikan pula, hasil surplus tersebut menjadi bagian dari persiapan untuk pembayaran klaim selanjutnya.
Sayangnya, laporan keuangan BPJS Kesehatan periode tahun 2020, untuk mendapatkan posisi penjelasan dari analisis kinerja keuangan itu belum terlihat di portal perusahaan. Diasumsikan pernyataan tersebut valid berdasarkan pengakuan Dirut BPJS Kesehatan.
Berlebih saat Pandemi
Menarik bila dikaitkan dengan somasi yang dilayangkan Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia-ARSSI, tentang tunggakan pembayaran layanan bayi lahir dengan tindakan, senilai Rp2.9 triliun sejak akhir 2018 (Kontan, 18/2). Terdapat selisih klaim yang belum dibayar.

Perlu penjelasan lebih jauh mengenai surplus BPJS Kesehatan secara detail, agar tidak menyebabkan persepsi yang keliru dalam menerjemahkan kondisi keuangan tersebut.
Data yang dapat dijadikan sebagai asumsi awal adalah (i) kenaikan iuran yang mendongkrak penerimaan dan pendapatan BPJS Kesehatan, (ii) penurunan klaim layanan yang diakibatkan tingkat kunjungan ke institusi kesehatan menurun selama pandemi.
Posisi keseimbangan neraca tersebut mengakibatkan terciptanya surplus, tetapi hal ini agaknya bersifat temporer, dengan proyeksi (i) tahun 2021 akan masih menjadi periode tipikal bagi surplus BPJS Kesehatan karena pandemi masih terjadi, (ii) manakala kembali pada posisi normal bukan tidak mungkin persoalan defisit kembali terulang.
Pandemi menjadi pembeda. Kekhawatiran penularan pada pusat kesehatan, mengakibatkan populasi menahan diri untuk datang ke dokter. Di samping itu, pada awal kejadian pandemi jam praktik dokter berkurang, disertai anjuran untuk tidak datang bila dinilai tidak emergensi.

Pelajaran Pandemi
Pandemi mengajarkan hal penting terkait tata kelola sektor kesehatan. Ucapan yang selalu muncul dan berulang adalah salus populi suprema lex esto-keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.
Di masa pandemi, negara harus hadir untuk memastikan perlindungan bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Alokasi belanja kesehatan diperbesar. Aktivitas fisik dibatasi dengan alasan mencegah penularan wabah yang lebih luas.
Keberadaan pandemi juga memaksa publik untuk lebih memperhatikan kondisi kesehatan keseharian melalui penerapan protokol sehat. Lebih jauh dari itu, publik yang terpapar Covid-19 langsung mendapatkan jaminan pertanggungan negara.
Ketahanan sistem kesehatan secara nasional sedang diuji dalam pandemi. Tingkat kerentanan atas dampak penyakit menular, terlihat dari kemampuan serta kesiapan sistem kesehatan, perlu tata ulang. Hal tersebut menjadi point penting yang perlu dipersiapkan.

Pasca pandemi, ungkapan keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi harus terus secara konsisten diimplementasikan. Butuh komitmen yang kuat dalam kerangka dukungan politik bagi pengarusutamaan tegaknya kesehatan masyarakat, untuk memastikan eksistensi populasi terbebas dari ancaman penyakit.
Dirut Baru BPJS
Dengan segala pencapaiannya, BPJS Kesehatan adalah cerminan dari sistem kesehatan nasional. Program kerja BPJS Kesehatan sesungguhnya krusial dengan pertimbangan, (i) bersifat wajib dan universal, melibatkan seluruh populasi, (ii) merupakan program jaminan bagi perlindungan kesehatan publik.
Hal tersebut di atas, mengubah arah konsep pembangunan dari yang sebatas fisik menjadi investasi pada manusia. Melalui kondisi hidup yang sehat maka produktivitas bisa terjadi. Rakyat sehat menjadi ukuran negara kuat.
Tantangan Defisit dan Sustainability BPJS Kesehatan (1)
Petugas melayani pelanggan di Kantor BPJS Kesehatan, Jakarta, Senin (9/3). Foto: ANATRA FOTO/M Risyal Hidayat
Melalui program BPJS Kesehatan, diharapkan terjadi (i) kemudahan akses layanan kesehatan dan (ii) keberlanjutan program jaminan kesehatan secara berkesinambungan, sehingga daya saing bangsa terbentuk. Dengan begitu nilai kesejahteraan terinternalisasi dalam praktik riil kehidupan warga negara.
Dirut BPJS Kesehatan berganti, kini dikomandoi Prof Ali Ghufron Mukti, mantan wamenkes pada periode sebelumnya, tentu harapan itu berlabuh di pundaknya, untuk memastikan program besar kesehatan ini mampu memberi kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa.
Dalam paparan pelantikan, Ali Ghufron bahkan mengatakan meski surplus arus kas, dalam laporan posisi net asset masih terjadi defisit 7 triliun (Detik, 22/2), disertai dengan janji untuk melakukan perbaikan kualitas layanan.
Bagaimanapun BPJS Kesehatan sebagai sebuah organisasi perlu membangun kolaborasi sinergis dengan berbagai stakeholder. Harmonisasi kerja bersama Kementerian Kesehatan, termasuk dengan asosiasi profesi dan institusi pemberi layanan, serta kepada publik itu sendiri.
Komunikasi dan koordinasi perlu dibenahi, agar cita-cita ideal menuju pintu gerbang kemerdekaan bisa diwujudkan dalam melindungi segenap warga bangsa. Bahwa kesehatan merupakan fundamental right-hak mendasar, BPJS Kesehatan diharapkan mampu merefleksikan konsep reformasi sistem kesehatan dengan basis asuransi sosial (Ali Ghufron, 2004)

Kondisi defisit bagi program BPJS Kesehatan yang sebelumnya selalu berulang adalah tantangan Dirut baru. Defisit pembiayaan tidak hanya dimaknai secara teknis sebagai senjangnya pendapatan dan biaya, melainkan (i) lemahnya komitmen dan dukungan atas program, dan (ii) ketidakseriusan melihat peran penting sektor kesehatan sebagai aspek pembangunan.
Sistem kesehatan nasional yang kokoh dan solid, merupakan kombinasi dari kuatnya perspektif kepentingan dan kehendak publik melalui (i) ideologi, (ii) pengambilan kebijakan dan (iii) budaya, (Laksono T, 2006), untuk memastikan agar kita dapat mendekati tujuan luhur kemerdekaan, sebagaimana bunyi dalam preambule UUD 1945 tentang perlindungan, kesejahteraan hingga keadilan sosial.

Berita Tekait

Policy Paper