Korban Demonstrasi: Ditanggung atau Tidak oleh BPJS Kesehatan?

Perdebatan publik kembali mengemuka terkait peran BPJS Kesehatan dalam menanggung biaya pengobatan korban demonstrasi. Di tengah situasi sosial-politik yang kerap diwarnai aksi massa, pertanyaan sederhana namun krusial muncul: apakah korban luka dalam demo bisa dicover oleh BPJS Kesehatan?

Jawaban resmi BPJS tidak sesederhana “ya” atau “tidak”. Ada garis tegas yang ditarik melalui regulasi. Secara prinsip, BPJS Kesehatan wajib memberikan layanan gawat darurat  kepada semua peserta JKN, tanpa melihat latar belakang atau penyebab medis. Artinya, seseorang yang terluka saat demonstrasi—misalnya karena gas air mata, terinjak, atau jatuh saat berdesakan—tetap bisa mendapatkan perawatan darurat, selama kondisi tersebut memenuhi standar kegawatdaruratan medis.

Namun, celah pengecualian juga jelas tercatat dalam  Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Regulasi itu menyebut, BPJS tidak menanggung penyakit atau cedera yang timbul akibat tindak pidana, kesengajaan, atau peristiwa yang sudah ditanggung oleh skema asuransi lain. Dengan kata lain, apabila luka terjadi karena bentrokan, perusakan, atau keterlibatan aktif dalam tindak pidana saat demo, maka biaya pengobatan tidak akan dicover oleh BPJS.

Inilah dilema yang menimbulkan keresahan publik. Masyarakat awam kerap tidak mampu membedakan apakah status mereka “korban” atau “pelaku” di mata hukum. Akibatnya, penanganan medis bisa menjadi ajang tarik-menarik antara kepastian hukum dan hak dasar atas kesehatan.

Dari sisi keadilan sosial, seharusnya layanan kesehatan tidak boleh dipolitisasi. Hak atas pelayanan medis adalah  hak konstitusional warga negara. Ketika seseorang terluka di ruang publik, entah sebagai peserta demo damai maupun sebagai warga yang kebetulan melintas, negara seharusnya hadir terlebih dahulu melalui pelayanan medis, bukan justru memperdebatkan status hukum di tengah kondisi darurat.

BPJS Kesehatan sendiri sering menegaskan komitmen untuk tetap memberi layanan pada fase darurat. Tetapi dalam praktik, kebijakan di lapangan bisa bervariasi—tergantung tafsir rumah sakit dan aparat penegak hukum. Di sinilah potensi ketidakadilan muncul: ada korban yang ditolong penuh, ada pula yang akhirnya dibebani biaya karena dianggap masuk kategori pengecualian.

Negara tidak boleh setengah hati dalam urusan kesehatan rakyatnya.

Jika BPJS Kesehatan adalah instrumen jaminan kesehatan nasional, maka garis batas antara “korban demo” dan “pelaku demo” jangan sampai menjadi alasan diskriminasi pelayanan. Biarkan hukum berjalan di ranahnya, tetapi hak kesehatan harus dijamin tanpa syarat.

Pada akhirnya, peristiwa demonstrasi adalah potret dinamika demokrasi. Dan demokrasi sejati hanya bisa tegak bila negara memastikan warganya, siapapun mereka, tetap memiliki akses setara terhadap layanan kesehatan—bahkan ketika mereka jatuh, berdarah, atau terluka di jalanan karena menyuarakan pendapat.

Berita Tekait

Policy Paper