JAKARTA, KOMPAS– Aturan yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan terkait urun pembayaran atau <em>co-payment</em> klaim asuransi kesehatan sebesar 10 persen bagi peserta asuransi dinilai merugikan masyarakat. Aturan ini dikhawatirkan pula dapat berdampak pada penurunan minat masyarakat dalam berasuransi.
Aturan urun biaya dalam klaim asuransi kesehatan tersebut tertulis dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. Dalam aturan itu disebutkan bahwa pembagian risiko berupa porsi pembiayaan kesehatan yang menjadi tanggung jawab pemegang polis, tertanggung atau peserta paling sedikit sebesar 10 persen dari total pengajuan klaim rawat jalan atau rawat inap di fasilitas kesehatan.
Adapun batas maksimum yang diatur yakni sebesar Rp 300.000 untuk pengajuan klaim rawat jalan, Rp 3 juta untuk pengajuan klaim rawat inap, serta adanya coordination of benefit yang memungkinkan koordinasi pembiayaan lewat skema Jaminan Kesehatan Nasional. Disampaikan bahwa ketentuan untuk co-payment 10 persen ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas layanan medis dan layanan obat serta mendorong premi asuransi yang lebih terjangkau.
Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia Tulus Abadi dihubungi di Jakarta, Kamis (12/6/2025) mengatakan, aturan OJK tersebut dinilai tidak adil untuk masyarakat karena cenderung lebih berpihak pada industri asuransi. Hak-hak dari konsumen sebagai pemegang polis atau peserta asuransi justru berkurang.
“Kami menduga dalam proses pembuatan surat edaran OJK tersebut tidak melibatkan representasi atau lembaga konsumen dan sebaliknya hanya melibatkan kalangan industri asuransi saja,” katanya.
Adanya alasan dari ketentuan tersebut yang bertujuan untuk mengurangi perilaku<em> moral hazard </em>konsumen yang diklaim sering melakukan pemanfaatan berlebih (overutilized) juga dianggap tidak tepat. Selama ini, tindakan<em> moral hazard</em> justru lebih banyak dilakukan oleh industri asuransi dengan penolakan hak konsumen saat mengajukan klaim.
Menurut Tulus, jika tujuannya untuk mengatasi moral hazard dalam asuransi kesehatan, OJK seharusnya lebih memprioritaskan untuk mereformasi adanya praktik klausula baku yang banyak ditemui dalam kontrak perjanjian atau polis asuransi. Reformasi yang dilakukan pada format polis asuransi ini bisa memitigasi adanya klausula baku yang dilarang.
“Bukan malah membuat regulasi yang justru mereduksi dan menyudutkan hak- hak konsumen asuransi seperti ini. Aturan OJK ini juga bisa menjadi preseden buruk bagi asuransi sosial seperti JKN,” katanya.
Program JKN
Tulus menuturkan, apabila aturan OJK ini diadopsi dalam program JKN, hal ini bisa menjadi kontraproduktif dari prinsip asuransi sosial. Selain itu, aturan ini juga berpotensi menurunkan minat masyarakat dalam berasuransi.
“Ini artinya akan menggerus rasio asuransi di Indonesia. Apalagi wajah industri asuransi di mata publik saat ini sedang mengalami downgrade karena kasus-kasus besar seperti gagal bayar pada konsumen, bahkan kasus korupsi,” ujarnya.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, aturan OJK yang menyebutkan adanya coordination of benefit atau koordinasi manfaat untuk program JKN bisa bertentangan dengan aturan dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Ketentuan koordinasi manfaat antara program JKN dan asuransi swasta selama ini hanya bisa diterapkan untuk pembayaran selisih biaya bagi peserta yang ingin naik kelas perawatan. Itu misalnya bagi peserta JKN kelas 2 yang akan menaikkan kelas perawatan menjadi kelas 1 atau peserta kelas 1 yang ingin menaikkan kelas perawatan menjadi VIP.
“Namun kalau misalnya sejak awal menggunakan asuransi swasta, kemudian untuk co-payment 10 persen dibayar dengan JKN, itu tidak bisa. Tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang SJSN yang mengatur hal itu. SE OJK ini juga tidak lebih kuat dibandingkan undang-undang,” tuturnya.
Secara terpisah, anggota Kompartemen Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Daniel Budi Wibowo mengatakan, aturan OJK ini tidak akan banyak berpengaruh pada rumah sakit. Besaran klaim yang akan diterima oleh rumah sakit tetap sama, sekalipun akan ada pembagian pembayaran antara asuransi kesehatan dan pemegang polis asuransi.
“Dampak (aturan co-payment ) lebih ke pasien yang akan berkurang manfaat jaminannya. Untuk rumah sakit, dari sisi penerimaan tidak berubah, akan sama saja,” katanya.