Gelombang demonstrasi yang terjadi di berbagai kota Indonesia menyisakan lebih dari sekadar evaluasi politik dan sosial. Kerusuhan ini juga menghadirkan tantangan serius bagi ketahanan sistem kesehatan nasional. Banyak korban yang mengalami luka-luka, bahkan hingga ratusan, sementara ribuan lainnya terkena dampak psikologis dan sosial yang menyeluruh. Hal ini menunjukkan bahwa krisis sosial semacam ini bisa berubah menjadi krisis kesehatan masyarakat secara mendadak
Crisis Healthcare: Tidak Hanya untuk Bencana Alam
Pada umumnya, sistem kesehatan kita dipersiapkan untuk menghadapi bencana seperti gempa bumi, banjir, atau pandemi. Namun, kerusuhan sosial juga memiliki karakteristik mirip: terjadinya secara tiba-tiba, meluas, menyebabkan banyak korban, dan mengganggu akses terhadap layanan dasar. Dampaknya sangat nyata — dari paparan gas air mata, kepadatan kasus luka-luka akibat benturan, hingga gangguan pernapasan dan iritasi mata
Masalah Kesehatan Mental: Pantauan yang Sering Terabaikan
Kerusuhan juga memicu beban kesehatan mental yang serius. Rasa takut, trauma, dan ketidakamanan menjadi momok, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan pekerja informal. Sayangnya, penanganan aspek psikososial pascakerusuhan masih sangat minim, padahal dampak trauma kolektif bisa bertahan lama. Anak-anak yang menyaksikan kekerasan, mahasiswa yang dikejar aparat, hingga masyarakat yang rumahnya rusak, rentan mengalami gangguan psikologis berkepanjangan
Sistem Medis Darurat Butuh Adaptasi dan Integrasi
Beberapa provinsi telah menyiapkan layanan ambulans dan jalur rujukan cepat. Namun kenyataannya, akses jalan yang terputus, kesulitan ambulans mencapai lokasi, serta keterbatasan tenaga medis, menjadi penghambat utama. Hal ini terutama terjadi ketika kerusuhan berlangsung di pusat kota—wilayah yang sekaligus berfungsi sebagai jalur transportasi vital. Akibatnya, pasien non-demo seperti penderita serangan jantung atau ibu hamil, terpental dari akses layanan medis yang seharusnya tersedia
Ketahanan Gizi dan Dampak Ekonomi yang Tak Terduga
Kerusuhan juga berdampak tidak langsung terhadap kesehatan masyarakat. Gangguan aktivitas ekonomi menyebabkan pekerja harian kehilangan penghasilan, harga bahan pangan naik, dan transportasi umum terganggu. Semua ini memperlemah ketahanan gizi masyarakat, khususnya keluarga miskin yang rentan terhadap malnutrisi. Dengan demikian, kerusuhan sosial bisa memicu munculnya masalah kesehatan baru dalam skala lebih luas
Rekomendasi Strategis: Dari Reaktif ke Adaptif
Berikut beberapa langkah penting agar sistem kesehatan kita lebih tanggap menghadapi kerusuhan sebagai ancaman kesehatan:
-
Integrasi Antar Sektor
Kolaborasi antara aparat keamanan, pemerintah daerah, dan pihak kesehatan harus lebih solid dan terencana. Tidak hanya sebagai respons, tetapi sebagai kesiagaan terpadu. -
Perbaikan Layanan Darurat
Ambulans dan rujukan cepat perlu didukung oleh jalur evakuasi khusus saat keadaan darurat sosial. Kerusuhan tidak boleh menghalangi akses bagi korban maupun masyarakat yang tidak terkait langsung. -
Penanganan Kesehatan Mental Berbasis Rujukan Cepat
Mekanisme pelibatan psikolog dan konselor trauma harus siap hadir di lokasi secepat mungkin, terutama untuk kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan pekerja informal. -
Perluasan Perlindungan Gizi dan Ekonomi
Program bantuan sosial dan distribusi sembako perlu segera digalakkan saat kerusuhan melumpuhkan aktivitas ekonomi, guna mencegah krisis gizi yang berkelanjutan.
Kesimpulan
Kerusuhan sosial bukan sekadar gangguan tata kota—itu adalah potensi bencana kesehatan. Sistem kesehatan kita harus berkembang dari sekadar bersifat reaktif menjadi adaptif: terkoordinasi, responsif, dan antisipatif. Dengan pendekatan terintegrasi, kesiapan medis, dukungan psikososial, serta perlindungan ekonomi, pemerintah dan masyarakat bisa bersama-sama memperkuat ketahanan di masa-masa paling genting sekalipun.