Pemerintah Kaji Kebutuhan Dasar Peserta BPJS Kesehatan

Pemerintah mengkaji kebutuhan dasar kesehatan peserta BPJS untuk menerapkan kelas standar yang menggantikan sistem kelas.

Jakarta, CNN Indonesia - Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi mengaku tengah mengkaji kebutuhan dasar kesehatan peserta BPJS Kesehatan. Kajian ini akan menjadi acuan pemerintah untuk menerapkan kelas standar yang menggantikan sistem kelas BPJS Kesehatan.

Penerapan kelas standar ini akan menjadi solusi untuk mengatasi defisit menahun BPJS Kesehatan. Apalagi, terjadi ketimpangan antara pendapatan iuran kepesertaan dengan beban operasional yang dibayarkan operator program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tersebut yang disebut menjadi masalah utama defisit.

"Pemerintah dalam waktu dekat akan memperbaiki fundamental pelaksanaan JKN dengan meninjau paket manfaat program JKN, sesuai kebutuhan dasar kesehatan peserta BPJS Kesehatan," ujar Oscar lewat video conference, Rabu (29/7).

Kendati tak merinci manfaat yang akan dibatasi ke depannya, namun ia memastikan hak dasar kesehatan peserta BPJS Kesehatan terpenuhi sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan.

Lebih lanjut ia menuturkan selama ini penggunaan manfaat menjadi faktor yang membebani defisit keuangan BPJS Kesehatan.

Ia mencatat sepanjang tahun lalu ada 433 juta kunjungan baik untuk klaim fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) maupun klaim fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL). 

"Isu yang menjadi tantangan utama dalam penyelenggara sistem stabilitas pembiayaan disebabkan tidak seimbangnya pendapatan iuran yang dikumpulkan BPJS Kesehatan dengan beban operasional dan beban pelayanan kesehatan," jelas Oscar.

Pada kesempatan sama, Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kemkes Kalsum Komaryani menilai masalah defisit bersumber pada sistem pembiayaan yang tak banyak melibatkan swasta.

Ia menyebut pemerintah terlalu berfokus menyediakan pendanaan dari kocek APBN yang terbatas.

Sekalipun saat ini BPJS Kesehatan mengalami surplus, namun ia menyebut masalah defisit belum terpecahkan.

Diketahui, BPJS Kesehatan menerima iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) APBN dari pemerintah sebesar Rp4,05 triliun dan melunasi utang kepada RS sebesar Rp3,7 triliun pada awal Juli lalu.

"Pihak pemerintah kurang sense (peka) terhadap pihak pembiayaan swasta, terlalu berfokus pada pendanaan pemerintah (government funding centric)," lanjut Kalsum.

Setelah enam tahun BPJS Kesehatan berdiri, ia menyebut pemerintah masih meraba-raba dan memilah sistem pendanaan yang berkelanjutan.

Namun, ada beberapa penyesuaian yang tengah dikembangkan pemerintah, seperti penyesuaian skema kontribusi pembayaran iuran dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta implementasi kelas standar yang paling lambat diterapkan pada 2022.

Sementara itu, Deputy Director of Research and Outreach Smeru Institute Athia Yumna menyorot peningkatan anggaran pemerintah untuk PBI dari Rp26,7 triliun pada 2018 menjadi Rp48,8 triliun pada 2020.

Fakta bahwa BPJS Kesehatan masih mengalami defisit setelah pemerintah melipatgandakan anggaran kesehatan menunjukkan ada permasalahan efisiensi.

Oleh karena itu, ia merekomendasikan pemerintah untuk mengendalikan biaya pengeluaran, termasuk membatasi anggaran RS yang saat ini tak dibatasi. 

Selain itu, untuk meningkatkan ruang fiskal, pemerintah disarankan untuk mengimplementasikan sin tax atau menaikkan cukai rokok dan alkohol untuk menutupi defisit neraca keuangan BPJS Kesehatan, sekaligus menekan laju penyakit kronis yang disebabkan oleh konsumsi rokok dan alkohol.

(wel/bir)

Berita Tekait

Policy Paper