Lima Tahun BPJS Kesehatan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha, Staf Ahli Direksi Bidang Komunikasi Publik BPJS Kesehatan

Mens sana in corpore sano. Ini pepatah dari bahasa Latin. Artinya, pikiran yang sehat bersemayam di tubuh yang sehat. Orang sering mengartikan mens dengan jiwa, padahal dalam bahasa Latin jiwa adalah anima.

Dalam bahasa Inggris, kata mens berpadanan dengan mind--bahasa-bahasa di Benua Eropa memang dari satu akar, sehingga banyak kata memiliki kemiripan bunyi. Namun, untuk pemahaman umum, kata mens dimaknai sebagai jiwa tak terlalu melenceng.

Alasannya, pikiran dan jiwa unsur inner manusia, apalagi jika dikontraskan dengan badan wadag alias tubuh (corpore) yang merupakan aspek luar manusia. Pepatah Latin itu mencerminkan hubungan timbal balik aspek “dalam” dan aspek “luar” manusia.

Hanya pikiran sehat akan menimbulkan badan sehat. Namun, badan yang sehat juga bisa menimbulkan pikiran sehat. Kendatipun jika kita cermati konstruksi kalimatnya, narasinya bisa asimetris: pikiran yang sehat bersemayam dalam tubuh yang sehat.

Artinya, sehatnya pikiran berawal dari sehatnya badan. Karena itu, pepatah Latin ini menjadi kredo favorit dalam menggelorakan kemestian berolahraga. Olahraga menciptakan tubuh sehat, yang kemudian menyehatkan pikiran. Namun, ada yang memaknai pepatah tersebut bersifat resiprokal, timbal balik. Jiwa yang sehat akan melahirkan badan sehat.

Bukan sekadar iuran

Komisi IX DPR yang dipimpin Dede Yusuf, getol membedah isu kesehatan dari pintu masuk BPJS Kesehatan. Sebuah jalan yang benar. Pintu kecil menuju aula besar.

Segala aktivitas manusia bisa dikatalisasi dengan materi dan wujud materi di era modern tersimplifikasi melalui uang. Semulia apa pun profesi, pasti ada insentif uang. Tanpa itu manusia tak makan, tak membangun keluarga, tak mengembangkan peradaban.

Nyatanya, medical industrial complex seperti dicatat Barbara dan John Ehrenreich pada 1969, telah menjadi bagian dunia kesehatan. Ada konflik kepentingan bersifat bisnis dalam isu ini. Sudah menjadi tugas kita menjaga keseimbangan relasi bisnis dan kemanusiaan ini.

Kehebohan yang kini melanda BPJS Kesehatan berawal dari defisit dana jaminan sosial (DJS) yang dikelola BPJS Kesehatan. Kehadiran lembaga ini genap lima tahun pada Januari 2019. Sangat sedikit orang paham seluk-beluk lembaga asuransi sosial ini.

Maklum masih baru. Butuh waktu bagi banyak pihak memahami duduk perkaranya. Komisi IX DPR bekerja keras dengan memanggil banyak pihak untuk duduk bersama membedah soalan ini. Rapat diadakan serial. Sering berlangsung hingga tengah malam.

Namun, perlahan orang mulai paham. Komisi IX juga membentuk tim kecil yang dipimpin Prof Dr Budi Hidayat dari Universitas Indonesia. Ujungnya, rapat Komisi IX bersama stakeholders kesehatan, baik dari pemerintahan maupun organisasi profesi, untuk mendengarkan hasil kajian tim tersebut. Sebuah rekomendasi konkret tentang rencana aksi komprehensif.

Kerja Komisi IX ini patut dipuji. “Ini bukan sekadar soal iuran, tapi ada hal yang lebih dalam,” kata Dede. Kalimat itu, penutup yang tepat dan manis. Bukan hanya soal duit tetapi ada seabrek masalah melilit dunia kesehatan.

Silang sengkarut yang dipicu defisit DJS membuktikan, semua bukan sekadar masalah uang. Namun, uang berhasil menjadi katalis yang membongkar keruwetan persoalan kesehatan di Indonesia. Jika BPJS Kesehatan pintu kecil menuju aula kesehatan, uang lubang kuncinya.

Selama ini, segala kekotoran ini tertimbun bongkahan kemuliaan isu kemanusiaan. Dokter dan rumah sakit adalah ‘institusi’ kemanusiaan, bukan sekadar profesi dan bisnis, sehingga permakluman demi permakluman selalu menekan keruwetan ke alam bawah.

Mengapa baru sekarang menyembul? Mengapa uang? Jawaban pertanyaan pertama sederhana saja: karena sekarang ada BPJS Kesehatan. Sebelum ini, isu seputar ini hanya muncul sporadis. Timbul-tenggelam.

Sesekali melejit, seperti kasus bayi disandera rumah sakit karena orang tuanya tak sanggup membayar biaya persalinan. Paling heboh penyanderaan bayi dari orang tua Ny Nurganti, warga Simalingkar, Medan, pada 1987, oleh klinik bersalin Bali Ulina, Padang Bulan.

Yang fenomenal berikutnya, kasus Prita Mulyasari pada 2008, perihal keluhan layanan berujung sengketa hukum. Publik pun spontan menggalang uang koin untuk membantu Prita: sebuah simbol perlawanan terhadap hegemoni kapitalisme dalam dunia kesehatan.

Sekali lagi mengapa setelah hadir BPJS Kesehatan sengkarut dunia kesehatan menjadi menyeruak? Jawaban terhadap pertanyaan ini sekaligus menjawab pertanyaan kedua. BPJS Kesehatan adalah selain institusi berdimensi sosial, juga menjadi institusi finansial.

Karena itu, BPJS Kesehatan berada dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Aspek finansial inilah yang menjadi kunci inggrisnya. Galibnya institusi ekonomi, semua harus teradministrasi rapi dan setiap rupiah harus dipertanggungjawabkan.

Apalagi, ini uang negara dan uang publik. Lebih-lebih ini mengurusi dana sosial dan mengurusi orang yang sedang sakit. Dana sosial dan orang sakit adalah kombinasi eksplosif, meledakkan semua sensitivitas.

Dana itu sangat besar (sekitar Rp 70 triliun-Rp 90 triliun per tahun) dan langsung dibagi habis, hanya sekitar empat sampai lima persen untuk operasional. Dana itu untuk pembiayaan di rumah sakit dan kapitasi di puskesmas dan fasilitas tingkat pertama lainnya.

Apa sih beda tugas Kementerian Kesehatan dengan BPJS Kesehatan? Bagaimana pula Dewan Jaminan Sosial Nasional? Di mana letak pemda? Sebagai penyelenggara jaminan sosial, BPJS Kesehatan sebagai pembeli layanan.

Sebagai pembeli, ia berhak mendapat jaminan kualitas ‘barang’ yang akan dibelinya, harga yang ditawarkan tak kemahalan maupun kemurahan.

Namun, karena BPJS Kesehatan sebagai pembeli tunggal dan untuk dibagikan kepada yang lain yang akan datang mengambil ‘barang’ yang akan dibeli itu maka BPJS Kesehatan juga berhak menentukan mekanismenya.

Sebagai pembeli tunggal, BPJS Kesehatan berhak mendapatkan kepastian informasi keragaman penjual ‘barang’ dengan segala prasyaratnya.

Secara konkret, dalam sistem JKN KIS ini, harus ada ketentuan besaran iuran, besaran tarif per layanan (INA CBG’s), klasifikasi fasilitas kesehatan, alur klinis, dan sistem pembayaran. BPJS Kesehatan hanya memiliki kewenangan pada sistem pembayaran.

Selebihnya ada di pihak lain. Berdasarkan kajian tim yang dipimpin Prof Budi, ada 10 isu yang harus dicermati. Pertama, pendanaan. Kedua, pembayaran. Ketiga, kapitasi. Keempat, layanan di FKTP. Kelima, layanan obat.

Keenam, layanan di FKRTL. Ketujuh, kepesertaan. Kedelapan, regulasi. Kesembilan, perda. Kesepuluh, hubungan antarlembaga. Berdasarkan 10 isu, di antara rekomendasi solusi yang diusulkan tim banyak sekali.

Usulan itu di antaranya standardisasi dan penyesuaian manfaat, menghitung ulang premi ideal, formulasi clinical pathway, lembaga independen penentu tarif, pelembagaan medical audit, koreksi kapitasi, akreditasi RS, dan review penetapan tipe RS.

Hampir seluruh rekomendasi itu berada di luar kewenangan BPJS Kesehatan. Ada sebagian kecil berada dalam tanggung jawab BPJS Kesehatan. Dari semua rekomendasi itu, kita bisa membayangkan betapa ruwetnya persoalan yang harus dibenahi.

Masih banyak pekerjaan rumah, yang bersifat kejiwaan, di institusi bernama kesehatan. Tanpa jiwa yang sehat, butuh kegilaan untuk mendapati badan yang sehat.

Berita Tekait

Policy Paper