Mempertanyakan Klaim BPJS Kesehatan Surplus Rp 18,7 Triliun

Pada menjelang akhir jabatannya Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fachmi Idris, mengumumkan kesuksesan lembaganya, yakni mengantungi surplus arus kas Rp 18,7 triliun. Fachmi menyatakan semua pembayaran kepada pihak rumah sakit juga sudah dilakukan. Artinya, sebuah “prestasi” BPJS Kesehatan.

Selama ini bertahun-tahun BPJS memang selalu defisit. Defisit bertahun-tahun itu menjadi sorotan dan keprihatinan berbagai pihak, termasuk Presiden Joko Widodo. BPJS menunjuk sejumlah alasan terjadinya defisit, tapi satu titik yang disebut biang keladi: soal iuran. BPJS menunjuk, tidak hanya iuran BPJS, yang terdiri “tiga golongan” itu terlampau murah, tapi juga karena banyaknya peserta BPJS yang tidak membayar iuran.

Pemerintah kemudian melakukan “jalan mudah” menambal defisit tersebut, yakni dengan menaikkan iuran BPJS. Kendati kemudian Mahkamah Agung membatalkan iuran tersebut, Pemerintah tak surut langkah, menaikkannya kembali. Kini iuran klas I Rp 150 ribu, klas II Rp 100 ribu, dan klas III Rp 35.000. Perihal iuran ini pula yang disorot Fraksi PKS DPR saat Fachmi Idris menyebut lembaga yang dipimpinya surplus Rp 18,7 triliun. Menurut anggota partai ini, Kurniasih Mufidayati, semestinya jika memang benar surplus, iuran itu, khususnya klas III diturunkan.

Arus kas dari buntung menjadi “untung” ini sebenarnya tidak bisa juga dikatakan prestasi. Pertama, kita tahu, pandemi selama setahun, yang dimulai sejak Maret 2020, telah membuat banyak orang untuk lebih baik tidak berhubungan dengan rumah sakit. Berkurangnya berobat ini otomatis akan mengurangi biaya pengobatan yang ditanggung BPJS. Faktor pandemi, kekhawatiran orang untuk berkumpul -apalagi bertemu orang sakit- membuat orang jika tidak sangat terpaksa tidak menggunakan fasilitas BPJS. Ini sejalan dengan pernyataan Facmi yang menyebut surplus itu sudah sejak Juli 2020.

Hal lain menyangkut soal pengobatan penyakit berbiaya tinggi. Selama ini, seperti diumumkan BPJS, penyakit katastropik, seperti jantung dan kanker, merupakan penyakit yang paling banyak menyedot anggaran BPJS, sampai 22 persen. Dari semua penyakit katastropik itu, yang paling besar memakan dana BPJS adalah penyakit jantung. Pada 2018 misalnya penyakit jantung menyerap biaya Rp 9 triliun dari total Rp 18 triliun yang dibayar BPJS untuk penyakit katastropik. Jumlah penderita penyakit jantung di Indonesia dperkirakan lebih dari 2 juta orang. Gaya hidup mengonsumsi garam berlebih membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang penduduknya banyak mengidap penyakit jantung.

Media ini menemukan cukup banyak sejumlah rumah sakit yang telah memiliki cath lab –alat operasi jantung- tapi tidak bisa menerima pasien penyakit jantung BPJS dengan sejumlah alasan. Rumah sakit tersebut antara lain RSUD Cibinong, RS Siti Khadijah Palembang, atau RS Jaury, Makassar. Karena itu tak heran muncul suara-suara bahwa tidak diizinkannya –atau belum keluarnya izin- rumah sakit itu menggunakan cath lab untuk pasien BPJS berkaitan untuk menekan anggaran BPJS. BPJS defisit tentu sesuatu yang memalukan bagi para direksi yang akan mengakhiri tugasnya.

Karena itulah klaim BPJS “surplus arus kas itu” perlu dipertanyakan -sejauh mana itu juga berkorelasi dengan “pelayanan BPJS untuk anggotanya.” Baik layanan dalam arti berurusan dengan administrasi di kantor BPJS -yang misalnya untuk bertanya perihal bagaimana mengganti kartu hilang saja mesti antre berjam-jam- hingga pelayanan di rumah sakit yang tentu saja tetap tak lepas dari BPJS. Pelayanan pada publik yang memuaskan publik -yang telah membayar- semestinya itulah prestasi BPJS. Dan tampaknya itu belum tercapai. []

Berita Tekait

Policy Paper