Iuran BPJS Kesehatan Naik: Membebani Warga, Defisit Jalan Terus

tirto.id - Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5/2020) menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020. Aturan ini merupakan upaya pemerintah untuk membangun ekosistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diklaim lebih sehat.

Rincian Perpres tersebut mengatur soal naiknya iuran untuk peserta kelas III pada Juli-Desember 2020 sebesar Rp25.500 per bulan, dengan detail Rp16.500 dibayar pemerintah pusat dan sisanya dibayar sendiri oleh peserta.

Tahun depan, iuran naik lagi menjadi Rp35.000, dengan rincian Rp28.000 dibayar sendiri oleh peserta dan sisanya ditanggung pemerintah. Kemudian iuran untuk kelas II menjadi Rp100 ribu per bulan, dibayar sendiri oleh peserta atau pihak lain atas nama peserta. Sementara iuran untuk kelas 1 menjadi Rp150 ribu, juga dibayar oleh peserta atau pihak lain atas nama peserta.

Iuran sempat dinaikkan pada 1 Januari lalu lewat Perpres 75/2019. Rinciannya: kelas 3 Rp42.000/bulan, kelas 2 Rp110 ribu per bulan; dan kelas 1 Rp160.000/bulan, akan tetap tak terealisasi usai Mahkamah Agung membatalkan Perpres tersebut.

Kebijakan iuran naik ini tak lagi akan maju mundur lagi. Sebab Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mengatakan ada kesenjangan antara iuran dan pemanfaatan dalam program JKN.

Maka dari itu, kata dia, diperlukan perbaikan ekosistem yang berkesinambungan dalam program JKN.

“Ada kesenjangan antara iuran dan manfaat yang komprehensif [pada program JKN] sehingga kesinambungan program perlu ada perbaikan ekosistem," kata Muhadjir dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR-RI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (11/6/2020).

Muhadjir mengatakan kesinambungan program JKN perlu diperbaiki dengan mempertimbangkan beberapa hal. Salah satunya penguatan JKN sebagai skema asuransi sosial bersifat wajib. Dalam hal ini ada beberapa agenda yang harus diselesaikan.

Iuran Naik Tapi Tetap Defisit

Meski iuran sudah dipastikan naik, BPJS Kesehatan diperkirakan masih mengalami defisit Rp185 miliar hingga akhir tahun nanti, kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris. Namun katanya, situasi akan membaik dibanding pada tahun berikutnya.

"Tahun berikutnya program bisa membaik, membayar rumah sakit, dan tidak sampai gagal bayar cukup panjang seperti pengalaman," kata Fahmi dalam rapat bersama Komisi IX.

Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menjelaskan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada saat ini hanya akan membebani masyarakat di tengah tekanan ekonomi akibat adanya pandemi Corona.

“Kondisinya kan dari sisi pendapatan masyarakat turun, banyak PHK, potong gaji. Ini kan berpotensi adanya anggota non-aktif dan turun kelas. Kenaikan iuran ini akan kontraproduktif,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (12/6/2020).

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira juga mengemukakan hal serupa. Bhima berkata langkah kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut tidak tepat karena semakin memberatkan masyarakat di tengah daya beli yang rendah.

Di saat situasi krisis ekonomi dan krisis kesehatan, kata Bhima, beban biaya kesehatan justru semakin ditanggung masyarakat.

“Efek dari kenaikan iuran BPJS bukannya membuat kepatuhan [bayar] naik, yang terjadi sebaliknya justru masyarakat terdorong untuk tidak membayar iuran,” kata Bhima.

Bhima menambahkan, “Kemudian ada yang bilang akan ada penurunan kelas, itu sulit dilakukan karena pengurusan di BPJS pasti tidak optimal selama pandemi. Jadi masyarakat memilih tidak membayar daripada repot turun kelas.”

Menurut Bhima, sebaiknya pemerintah saat ini memberikan stimulus lebih ke sektor kesehatan dibanding tarik iuran lebih dari masyarakat untuk tambal defisit BPJS Kesehatan.

“Batalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Tingkatkan stimulus kesehatan justru untuk tambal defisit BPJS. Itu yang utama. Jangan stimulus untuk buat kartu prakerja Rp20 triliun atau untuk subsidi korporasi lewat pemotongan pajak. Pemerintah harus lakukan kebijakan yang seharusnya dilakukan saat krisis. Harus ada prioritas,” kata Bhima.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan iuran BPJS Kesehatan memang sudah selayaknya naik, hanya saja perlu waktu yang tepat.

“Ini masalah komunikasi ya, masalah timing aja, yang dinaikkan itu kan kelompok yang tidak mengalami tekanan penurunan daya beli. Cuma memang masalahnya, timing-nya itu menjadi tidak pas,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (12/6/2020).

Di sisi lain, masalah defisit BPJS juga tidak bisa dikesampingkan. Karena itu, Piter menilai penyesuaian tarif yang dilakukan saat ini sudah tepat. Sebab fasilitas kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit hitungannya sudah jauh lebih mahal dibandingkan total iuran masyarakat per orangnya.

Baca juga artikel terkait BPJS KESEHATAN atau tulisan menarik lainnya Selfie Miftahul Jannah

(tirto.id - Kesehatan)

Berita Tekait

Policy Paper