Reportase: Indonesia Health Economic Association ke-6

Bali, 5 - 8 November 2019

inaHEA pembukaan

Pertemuan InaHEA 2019 merupakan bentuk platform dinamis yang mewakili peneliti, akademisi, agensi, pembuat kebijakan, profesional industri, pasien dan penyedia layanan kesehatan untuk menginspirasi dan menciptakan diskusi produktif tentang peran ekonomi ekonomi dan ekonometrik kesehatan di masa depan serta memberikan bukti kuat terhadap kebijakan kesehatan nasional dan / atau penggunaan teknologi kesehatan. Pada kesempatan kali ini tema yang diusung dalam INAHE ke-6 yaitu "Economics of Non-Communicable Diseases in Indonesia-Gathering Evidence for National Action Plan”.

Akan ada tiga sesi pleno dimana para pakar nasional dan internasional akan menginspirasi para delegasi untuk berpikir di luar kondisi ekonomi kesehatan saat ini untuk membayangkan masa depan ketika semua bagian dari ekosistem bukti - aksi bekerja secara harmonis.

Pada kesempatan kali ini Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK - KMK UGM mengirimkan wakilnya untuk berpartisipasi dalam INAHEA Ke-6. Berbagai pleno dan diskusi akan didokumentasikan melalui laporan reportase. Silahkan klik hasil reportase dari agenda INAHEA berikut ini.

Webinar DASK

Reportase

Workshop Penggunaan Dashboard Sistem Kesehatan (DASK)
untuk Perbaikan Kebijakan Kesehatan

dask

Workshop Penggunaan Dashboard Sistem Kesehatan (DASK) untuk Perbaikan Kebijakan Kesehatan Studi Kasus Penyakit Kardiovaskuler dilaksanakan di Bali pada Selasa (5/11/2019). Acara ini merupakan inisisai PKMK FK – KMK UGM yang bekerja sama dengan Knowledge Sector Initiative (KSI) dan Indonesia Health Economics Association (InaHEA). Prof Laksono Trisnantoro membuka kegiatan ini dengan mengajukan pertanyaan “Apa tujuan peserta memutuskan datang ke workshop ini?”. Mayoritas peserta menjawab ingin mengetahui lebih lanjut dan detail Dashboard Sistem Kesehatan (DASK) dalam era governance saat ini. Laksono mulai menjelaskan bahwa DASK yang sedang dikembangkan PKMK FK - KMK UGM bersama KSI saat ini adalah upaya inovasi dalam kebijakan kesehatan Indonesia. DASK ini bukan hanya menyajikan data semata, melainkandirancang khusus sebagai platform data & situasi kesehatan masyarakat Indonesia. Situasi kebijakan kesehatan cenderung dirancang seragam, padahal Indonesia memiliki 514 kabupaten/kota yang memiliki kapasitas, budaya dan geografi tertentu. Tentu kebijakan seragam tidak mungkin mampu menjawab tantangan perbaikan kesehatan.

DASK ini dianalogikan seperti kokpit pesawat, artinya perlu pengaturan (kebijakan) tertentu untuk kondisi tertentu. Begitu juga dalam merancang atau mengevaluasi sebuah kebijakan perlu memperhatikan indikator-indikator yang berkaitan. Laksono dibantu fasilitator mulai mendemonstrasikan DASK ke peserta. Setelahnya, banyak peserta yang mengajukan pertanyaan, dirangkum sebagai berikut:

  1. Saat ini banyak data yang disediakan di website pemerintah seperti BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan. Apa keterkaitan DASK ini dengan data yang lainnya? Apa perbedaannya?
  2. Data obat saat ini tidak banyak tersedia. Salah satu visi menteri kesehatan adalah mengevaluasi penggunaan obat dan farmasi dalam layanan kesehatan era JKN. Namun, selama ini di rumah sakit data obat sulit untuk diakses. Apakah DASK nantinya bisa juga menyajikan data-data terkait obat dan formularium nasional (fornas)?
  3. Data yang didemonstrasikan baru tahap provinsi. Bagaimana dengan data spesifik yang ada di kabupaten? Karena, kabupaten sulit akses. Lalu kualitas data yang tersedia di DASK ini seperti apa? Dan apa agenda ke depannya atas tersedianya data-data ini?

Laksono menjelaskan, bahwa data ini memang sudah dipikirkan bentuk dan pengembangannya sejak satu tahun yang lalu oleh PKMK FK - KMK UGM bersama KSI. Data yang disajikan memang bersumber dari banyak pihak, yang membedakan adalah DASK ini menjadi platform diskusi dan pengembangan menuliskan data-data tersebut menjadi rekomendasi kebijakan yang berbasis bukti. DASK ini berusaha mendekatkan data dengan decision maker bukan hanya untuk penulisan jurnal saja. Harapannya para akademisi dan klinisi berkolaborasi membunyikan data yang disajikan dalam DASK untuk sebuah rekomendasi kebijakan sesuai situasi dan kebutuhan wilayahnya. Perlu diketahui bersama bahwa ademisi atau klinisi sektor kesehatan tidak dibekali banyak hal-hal mengenai kebijakan, misal analisis kebijakan, perumusan policy brief dan advokasi kebijakan. Untuk data obat, memang saat ini sangat-sangat sedikit. Kalau Kementrian Kesehatan inginmengembangkan bersama terkait fornas dan obat/sedia farmasi lainnya DASK ini dapat menyediakan tempatnya. DASK ini akan terus berkembang sesuai kebutuhan.

Data dalam DASK ini selamanya akan dapat diakses oleh seluruh masyarakat (opensource). Kita memahami bersama bahwa perguruan tinggi yang ada di provinsi luar Jawa atau kabupaten/kota banyak yang belum memiliki infrastruktur yang baik terhadap data-data ini. Oleh karena itu, setelah berakhirnya kerjasama antara PKMK FK - KMK UGM dan KSI, diharapkan kita mulai crowd funding untuk mengembangkan DASK, misal produksi data, pelaksanaan pelatihan analisis kebijakan dan data, policy brief/memo untuk disampaikan kepada pemangku kebijakan kesehatan dan advokasi kesehatan.

Saatini memang yang didemonstrasikan terkait kasus jantung dan utilisasinya era JKN. Tetapi, mendatang akan disajikan data penyakit, data dokter, data fasilitas kesehatan, dan sebagainya. PKMK FK - KMK UGM juga telah berkolaborasi dengan klinisi/dokter jantung yang ada di RSUP Sardjito dalam menggunakan DASK, yakni akan diupayakan sebuah tulisan akademis (jurnal) dan kebijakan untuk menekan kematian ibu hamil akibat kelainan jantung di Yogyakarta.

Artinya pengembangan DASK ini akan lebih baik pemanfaatan dan sumbangsih apabila dikelola dengan semua pihak terkait. Peserta ada yang mengusulkan untuk menjaga keberlanjutan DASK ini, bisa dengan opsi menjual row data. Tetapi, opsi ini diklarifikasi bahwa PKMK FK - KMK UGM tidak bisa menjualbelikan data ini, karena keberadaan data ini sumbangsih dari berbagai pihak. PKMK FK - KMK UGM memiliki visi bahwa pengambilan keputusan/kebijakan di suatu daerah melibatkan peran akademisi. Akademisi adalah think tank dari pemerintah. Kebijakan sektor kesehatan yang hadir cenderung belum berbasis bukti ilmiah dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Artinya, DASK tidak hanya menyajikan data mutakhir dan lengkap, tetapi bagaimana ribuan data yang tersedia dapat meningkatkan kemampuan akademisi, klinisi dan semua pihak terkait mengawal perumusan, implementasi dan evaluasi sebuah kebijakan. Sebagaimana telah disampaikan di awal bahwa tujuan workshop ini untuk mengkombinasikan berbagai data dan mengkolaborasikan pihak-pihak untuk memperkaya literasi dan menghadirkan iklim kebijakan yang inklusif dan berbasis bukti (data dan situasi real wilayah).

Reporter: Tri Aktariyani, M. Hkes (PKMK UGM)

6 November

Plenary 1

Reportase Hari I:  InaHEA 2019 Plenary I

“Opening and Keynote Speech”

Dok. PKMK - FK - KMK UGM 2019

PKMK – Bali. Agendapagi ini (7/11/2019) dibuka oleh Prof. Hasbullah Thabrany selaku ketua dari InaHEA, yang menyampaikan bahwa ini adalah kali ke-6 InaHEAmenyelenggarakan forum ilmiah ekonomi kesehatan. Tema tahun ini dipilih tentang NonCommunicable Disease (NCD), yang apabila mencermati perkembangan saat ini, target SDGs 2030 seluruh masyarakat terbebas dari kerugian katastropik secara individual/keluarga. Topik iniyang banyak didiskusikan karenamemakan biaya kesehatan cukup banyak dalam pelayanan kesehatan era JKN. Tidak bisa dipungkiri hal ini memang sudah diprediksi, karena apabila kita telaah bersama belanja kesehatan Indonesia memang rendah. Hasbullah menyampaikan bahwa forum ini dilaksanakan sebagai upaya mengkomunikasikan dan mengkombinasikan gagasan-gagasan dari pemerhati kebijakan dan ekonomi kesehatan Indonesia. Masa mendatang akan terus diupayakan kehadirannya untuk semakin memperluas diskusi dalam forum yang mempertemukan para cendikiawan, hal ini guna mengurai masalah dengan komprehensif dan menemukan solusi yang tepat.

Selanjutnya, perwakilan dari USAID menyampaikan peran USAID dalam perubahan sistem kesehatan. Indonesia saat ini sedang menjalankan asuransi sosial dengan sistem single pooling terbesar di dunia. Hal ini tentunya tidak mudah dilakukan, yang perlu dikejar untuk perbaikan sistem kesehatan Indonesia berdasarkan pidato presiden Joko Widodo ialah pengembangan human capacity, stunting dan KIA. Selain itu, sistem kesehatan dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti economy growth, politicalwill dan sebagainya. Sehingga, perlu peran semua pihak untuk sama-sama mengejar target kesehatan yang ditetapkan oleh Presiden RI.

Kemudian, perwakilan dari Kementerian Kesehatan yang juga diminta untuk menyampaikan gagasan pembukan forum ini mengemukakan dengan data kesehatan mengenai NCD, yang merupakan persoalan besar yang sedang dihadapi oleh Indonesia. Sedangkan sampai saat ini, Indonesia belum menemukan formula yang tepat mengenai pembiayaan kesehatan. NCD akan mampu terselesaikan apabila kita memiliki sistem yang baik pada primary health care. Skema pembiayaan dan pelaksanaan perencanaan sudah sering diidentifikasi tidak rasional dan optimal. Hal ini karena memang, dalam peningkatan PHC butuh peran banyak pihak, karena dalam strategi NCD melekat Risk factor control, seperti alkohol, makanan dan lingkungan tidak sehat, merokok dan aktivitas tidak sehat.

Pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular tersebut dapat dilakukan dengan mengintegrasikan 6 kebijakan yaitu RPJMN, Renstra Kementerian Kesehatan, Rencana Aksi Penyakit Tidak Menular, Germas, SPM, dan PIS PK. Namun, yang tak kalah penting ialah perlunya advokasi seluruh pemangku kepentingan untuk komitmen dalam pengendalian dan perbaikan sistem untuk melakukan promotif kesehatan, deteksi dini, perlindungan khusus dan treatment. PasalnyaNCD atau penyakit menular adalah salah satu penyebab kemiskinan. Untuk memperkuat komitmen semua pihak, keterbukaan data dan transparansi dalam perumusan kebijakan/program NCD mutlak dilaksanakan. Hal ini agar harmonisasi regulasi dan pembiayaan kesehatan. Selain itu, butuh pendekatan yang inovatif dan disesuaikan dengan perkembangan zaman untuk melakukan perubahan perilaku bagi masyarakat dan mengetahui dampak dari NCD.

Reporter: Tri Aktariyani (PKMK UGM)

 

Plenary 2

Reportase Hari I Plenary II

The burden of NCDs/ Beban dari Penyakit Tidak Menular

Dok. PKMK - FK - KMK UGM 2019 

PKMK – Bali. Sesi plenary kedua yaitu “The burden of NCDs/ Beban dari Penyakit Tidak Menular”. Sesi ini dimoderatori oleh Prof. dr. Ascobat Gani, MPH, Dr.PH sebagai Board of Advisor InaHea). Pemateri yang mengisi sesi ini antara lain Prof.dr. Nawi Ng, MPH, PhD dari University of Gothenburg, Dr. Alaka Singh dari WHO Indonesia, dr. Andi Nafsiah Walinono Mboi, SpA, MPH dari CSIS, dan Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD yang diwakili oleh Relmbuss Biljers Fanda, MPH dari PKMK UGM.

Prof Nawi Ng menyampaikan materi tentang “Transitional epidemiology and disease burden of NCDs-Implementation Research/ Transisional Beban Epidemiologi dan Penyakit Tidak Menular, Riset Implementasi”. Prof Nawi memberikan pertanyaan tentang apakah Penyakit Tidak Menular (PTM) sudah mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintah? Dari semua PTM yang ada, kardiovaskuler menyumbangkan proporsi paling tinggi untuk kematian akibat PTM sebesar 30 %. Di Indonesia, angka kejadian stoke adalah 135,7 kasus per 100.000 populasi (2017). Namun, Profil Kesehatan Indonesia 2018 hanya berbicara tentang PTM dalam satu halaman, dan hanya berbicara tentang kardiovaskuler dalam 1 paragraf. Stroke hanya disebutkan 5 kali dalam keseluruhan buku. Secara global, pada 2018 PTM hanya menerima 2% dari total anggaran kesehatan global. Faktor risiko yang dapat disebutkan oleh Prof Nawi adalah tantangan spesifik tentang pengendalian tembakau yaituterdapat penundaan yang lama antara paparan dan hasil dan obesitas: ada juga ketidakadilan dalam risiko obesitas diantara orang kaya dan orang miskin.

Selanjutnya, Alaka Singh memaparkan Economic impact of NCDs by Health System Perspective/ Dampak Ekonomi dari PTM dalam Perspektif Sistem Kesehatan. Alaka mengingatkan kita pada tiga poin penting yaitu 1). Pembiayaan PTM tidak hanya datang dari Jaminan Kesehatan Nasional, 2) PTM harusnya mendapatkan dan dijalankan semua sektor tidak hanya kesehatan saja, dan 3) Strategi NCD sertarencana aksi nasional harus memperhatikan masalah tata kelola, mengingat bahwa ada peran yang harus dimainkan oleh berbagai tingkat pemerintahan di Indonesia. Semua level sumber daya pemerintah harus dikerahkan, tidak hanya dari pemerintah pusat.

Pembahas yang ketiga, dr. Nafsiah Mboi, SpA, MPHmenyampaikan “Strategy to control the prominent risk factors of NCDs/ Strategi untuk mengontrol faktor risko yang menonjol pada PTM". dr Nafsiah mengingatkan kembali kriteria untuk mengatribusi risiko adalah dampak contohnya perilaku merokok terhadap kanker paru-paru. Kelompok penyakit tidak menular hampir semuanya menduduki prioritas penyakit yang menyebabkan kematian yaitu stroke, Ischemic Heart Disease dan diabetes. Ketika kita melihat lebih dalam kenaikan persentase terbesar adalah kelompok Alzheimer sebesar 237 % dari 1990 ke 2017. Data PTM Posbindu menunjukkan bahwa pria hampir tidak pernah berpartisipasi, sedangkan dalam hal faktor risiko pria memiliki risiko lebih tinggi. Di seluruh dunia, prevalensi merokok telah meningkat pesat antara 2013 dan 2018: (Anak-anak: 7% hingga 9%, pria 52% hingga 58% dan wanita 1,3% hingga 4,8%). Strategi yang harus dijalankan yaitu: area tindakan 1 dengan advokasi dan kemitraan untuk mencegah dan mengendalikan NCD: sumber daya dan kebijakan apa yang harus ditempatkan; area tindakan 2: promosi kesehatan untuk pengurangan risiko; area tindakan 3: penguatan sistem kesehatan khususnya puskesmas; dan area tindakan 4: pengawasan, M&E, dan penelitian: harus menggunakan digitalisasi pengawasan, menggunakan lebih banyak penelitian tindakan.

Pembahas terakhir, Relmbuss Fanda memaparkan tentang Policy Analysis on Cardiovascular based on Big Data BPJS and Health Worker/ Analisis Kebijakan Pada Penyakit Kardiovaskuler. Relmbuss menyatakan bahwa terjadi ketidakadilan dalam sistem layanan kardiovaskuler. Data menunjukkan bahwa 1.100 dari 1.200 Spesialis Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah masih terpusat di Jawa, lebih detilnya hanya 4 SPJP di Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan 1 SPJP di Papua. Rekomendasi yang ditawarkan oleh PKMK adalah 1) Perlu dilakukan kompertemen dalam dana amanat JKN sehingga BPJS Kesehatan akan surplus dan dapat membiayai kebijakan kompensasi; 2) Upaya preventifdan promotifharus digalakan di tingkat daerah. Keterlibatan pemerintah daerah dalam membayar defisit di daerahnya akan memaksa pemerintah daerah untuk mengupayakan kegiatan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM); 3) Perlu dilakukan upaya pemenuhan SDM Kesehatan untuk penyakit kardiovaskuler seperti pemberlakuan task shifting untuk daerah yang tenaga spesialisnya kurang.

Reporter: Relmbuss Fanda (PKMK UGM)

Plenary 3

Konferensi InaHEA 2019 Plenary II

Comprehensive Approach to Reduce Complication In Dibaetes
(Pendekatan Komprehensif untuk Mengurangi Komplikasi Diabetes)

Pararel 3

Prof. Dr dr. Ketut Suastika, Sp.PD (KEMD)

Bali, November 2019. Pada sesi ini disampikan oleh Prof. Dr dr. Ketut Suastika, Sp.PD selaku ketua PERKENI.  Pada kesempatan ini Suastika menyampaikan bahwa Indonesia merupakan peringkat ke 6 tertinggi tingkat penduduk penderita diabates di Dunia. Kalau dilihat dari Riskesdas dari 2007-2018 menunjukkan prevalensi diabetes meningkat cukup tajam dari 5,7 menjadi 10,9. Dari prevalensi yang diketahui, lebih dari 2/3 pasien-pasien dengan undiagnose. Undiagnose merupakan ancaman besar bagi populasi yang apabila tidak ditangani, pasien undiagnose dan prediabetes akan menjadi komplikasi diabetes yang tidak hanya menyebabkan kesakitan, tapi juga kematian dan beban BPJS Kesehatan terkait dengan komplikasi menjadi sangat besar. Apabila hal ini dibiarkan, dalam kurun waktu 5 tahun akan meningkat sampai 50% menjadi diabetes. Jadi yang mengancam kita tidak hanya yang dibetes tetapi juga prediabetes. “tutur suastika.

Lebih lanjut Suastika menyatakan untuk menurunkan angka diabetes, PERKENI telah melakukan penelitian DiabCare dari tahun 1998-2012 yang menunjukkan target HbA1c tidak pernah meningkat, dan HbA1c <7 tetap pada 30%. Hal ini menyatakan seolah-olah apa yang dikerjakan selama ini baik pendidikan, pelayanan tidak membaik. Studi lain tentang dampak dari penyakit Diabetes baik mikro maupun makro vaskuler menunjukkan bahwa Indonesia kurang responsif dalam mengelola penyakit diabetes. Tingginya penderita komplikasi diabetes ini menjadi penyerap anggaran terbesar dana BPJS Kesehatan.

Tantangan dalam penanganan diabetes di Indonesia antara lain masih tingginya angka prediabetes dan penderita diabetes, banyak pasien dengan diabetes belum mencapai target glukosa, sebagian besar pasien dengan diabetes belum cukup agresif dalam mengendalikan faktor risiko, banyak pasien dengan diabetes memiliki kepatuhan yang rendah untuk terapi dan anggaran relatif rendah, dan pengeluaran/biayanya hampir berasal dari komplikasi. Lebih lanjut, Suastika menyatakan health lifestyle modification adalah pilihan yang paling tepat untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama dalam menangani masalah diabetes.

 

DM Tipe 2: Tindak Lanjut Kajian Formatif Kebijakan EAiD

Pararel 32

Prof. Budi Hidayat, S.KM., MPPM, Ph.D

Bali, November 2019. Pada sesi plenari III ini disampaikan oleh Prof. Budi Hidayat, S.KM., MPPM, Ph.D selaku ketua CHEPS UI.  Pada kesempatan ini Budi menyampaikan bahwa diabetes melahirkan sejumlah komplikasi namun pencegahan dan penanganan dini belum menjadi mainstreaming sehingga menjadikan Indonesia menempati peringkat ke 6 di dunia pengidap penyakit diabetes. Sementara apabila dicermati, ada ruang lebar untuk perbaikan kebijakan untuk intervensi diabetes.

Lebih lanjut Budi menjelaskan, lahir dari kondisi diatas maka muncul ide EaiD untuk menjawab problematika Diabetes Melitus. EAiD (Early Access in Diabetes) dikemas untuk mendorong kebijakan Inovatif dimana implementasinya mengacu pada 4 Pilar Aksi Dini yang dilandasi dengan bukti empiris yaitu Pilar Pencegahan, Pilar Deteksi Dini, Pilar Kontrol Diri, dan Pilar Akses Dini.

Hasil temuan dari penelitian EaiD menunjukkan bahwa diabetes menjadi pemicu kompilikasi baik microvascula maupun makrovascular dimana rata-rata penderita diabetes yang menderita selama 4 tahun akan mengalami komplikasi kardivoaskular. Hasil EaiD dikompilasi dengan Data BPJS Kesehatan ditemukan bahwa biang kerok meningkatnya klaim BPJS adalah penyakit diabetes. Sehingga perlu ditegaskan bahwa kalau pemerintah serius memerangi NCDs maka perlu dibenahi sisi hulu. “tegas Budi.

Reporter: Candra

Plenary 4

Belanja Kesehatan Strategis
(BKS/SHP-Strategic Health Purchasing)

plenary 4

Kebijakan Belanja Strategi Kesehatan di JKN

Pada plenary keempat konferensi InaHEA 2019, terdapat 5 pemateri yang berfokus pada strategic health purchasing. Agenda ini dilaksanakan di Bali pada 6 – 8 November 2019. Pemateri pertama ialah dr. Yuli Farianti,M.Epid dari Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan/ PPJK,  Kementerian Kesehatan yang memaparkan Kebijakan Belanja Strategi Kesehatan di JKN. Belanja Kesehatan Strategis (BKS) sangat penting peranannya dalam pembiayaan kesehatan. Posisi BKS tidak hanya di era JKN namun juga dari seluruh mekanisme dalam pembiayaan kesehatan. Terdapat 2 sisi yaitu pada program dan JKN itu sendiri. Sehingga secara makro apa itu BKS akan dijelaskan lebih lanjut di slide presentasi terlampir. Kesempatan kali ini  Yuli akan berfokus pada KIA/MNH, TB dan HIV. Mengapa berfokus pada hal tersebut, yaitu:

  • Penderita TB di Indonesia masih peringkat 3 dunia
  • Kematian ibu melahirkan (MNH) tinggi
  • Prevalensi penderita HIV di Indonesia cenderung meningkat.

Sehingga dengan fokus tersebut, kebijakan kesehatan difokuskan untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan terutama di layanan dasar (puskesmas). Ada 3 penguatan yang perlu dilakukan saat ini, yaitu penguatan pelayanan kesehatan, penguatan promosi kesehatan dan penguatan sistem kesehatan. Lebih jauh jika dilihat Anggaran MNH (KIA) hanya 9,6% dari 2,1 Trilyun, dimana total anggaran Kementerian Kesehatan 51 Trilyun. Anggaran KIA ini terlihat kecil sehingga tidak memberikan banyak peluang untuk menciptakan strategi pencegahan kematian ibu melahirkan. Namun kita akan memanfaatkan sumber dana lain termasuk memanfaatkan dana - dana JKN seperti dana kapitasi di puskesmas atau klinik pratama swasta. Pertanyaan mendasar berapa kecukupan dana untuk belanja kesehatan?.

Di Era JKN, mekanisme sistem pembayaran langsung ke FKTP dan FKTL. Namun, tidak sesuai dengan sistem pambayaran lain. Sistem pembayaran ini yang harus diperbaiki. Sehingga fokus belanja kesehatan strategis akan melihat pada:

  • Apa yang mau kita beli?
  • Belinya darimana?
  • Bagaimana cara membelinya?

Fokus belanja kesehatan strategis tersebut, Kementrian Kesehatan akan dibantu untuk mengujicobakan (piloting) inovasi belanja kesehatan strategis di beberapa daerah, sehingga melahirkan produk - produk strategis yang akan berdampak pada efisiensi pembayaran dan mempunyai dampak signifikan terhadap KIA, TB, dan HIV.

Pemateri kedua ialah Meghan O’Connel dari Research for Development (R4D) yang memaparkan Progress and Current Initiatives in Indonesia.

Meghan mengawali presentasinya dengan menyampaikan apa itu Belanja Kesehatan Strategis (Strategic Health Purchasing). BKS ini dapat mendorong atau mempengaruhi perilaku provider kesehatan (pemberi layanan kesehatan). Apabila dilihat dari jumlah populasi dan cakupan per segmen peserta JKN, populasi terbanyak yaitu pada peserta PBI baik PBI APBN dan PBI APBD. Kebutuhan BKS ini untuk meningkatkan cakupan penggunaan layanan yang disediakan oleh JKN. Jika dilihat penggunaan layanan meningkat dari 2014 awal JKN hingga 2019 ini. Namun, sisa negatifnya bahwa belanja pelayanan kesehatan cenderung naik lebih cepat dari pendapatan iuran yang diterima dari peserta JKN. Kata yang lebih tepat yaitu akses servis/penggunaan naik 100%, coverage juga naik, namun JKN tetap defisit. Pengalaman dari negara lain bahwa tantangan yang dihadapi pada UHC antara lain peningkatan pendapatan, memangkas belanja pelayanan kesehatan dengan membatasi cakupan pelayanan dan meningkatkan efisiensi belanja kesehatan dengan pendekatan BKS

Untuk itu apa sebenarnya yang dibeli oleh JKN? Karena jika kita melihat data berikut:

  • 80% expenditure di rumah sakit
  • Layanan C-section rate lebih naik pada wanita yang menjadi peserta JKN
  • Referral/ rujukan yang tidak tepat menjadi lebih naik, lebih banyak dan seringkali memotong alur rujukan di tingkat layanan dasar (puskesmas / klinik pratama)

Langkah - langkah yang diambil sebelum pilot dilakukan yaitu:

  • Melakukan review regulasi
  • Melihat peran dan tanggungjawab berbagai pihak yang terlibat dalam JKN

 

BKS sebenarnya telah dilakukan di beberapa tempat seperti menerapkan sistem pembayaran “Globat Budget” pada rumah sakit di beberapa daerah. Meghan juga memperlihatkan pengalaman di negara lain terkait “Siapa membeli apa”. Sehingga peran stakeholder di JKN sangat penting untuk mendukung JKN. 

 Pemateriketigayaitu Astara Lubis dari USAID, yang memaparkan Proses Perumusan Rekomendasi Kebijakan Belanja Kesehatan Strategis (BKS).Belanja Kesehatan Strategis ini sudah lama terbentuk. BKS dilaksanakan oleh beberapa tim yang terbentuk di level nasional. Tim perumus Belanja Kesehatan Strategis berisi Kemenkes, Kemendagri, BPJS Kesehatan, Asosiasi Profesi (CSO belum). Tim perumus ini secara rutin menganalisa dan berdiskusi terkait belanja strategis. Tim TB dan KIA melakukan diskusi berkelanjutan dan mengidentifikasi perumusan kebijakan yang harus dijawab.

Progam KIA berfokus penurunan kematian ibu dan program TB yaitu penurunan prevalensi TB. Akses, layanan dan efisiensi yang akan menjadi fokus dari inovasi belanja kesehatan strategis. Pendekatan yang digunakan yaitu mengaplikasikan beberapa pendekatan BKS meskipun kenyataannya tidak mudah dan beberapa tantangan terjadi pada saat melakukan diskusi, seperti:

  • Perdebatan panjang pada saat melihat masalah utama di TB dan KIA
  • Rumitnya mengidentifikasi sumber dan mekanisme pembiayaan dan insentif bukan hanya uang tapi insentif lain.

Tim perumus sudah menyusunpemetaan pembiayaan, regulasi, stakeholder, pemetaan data yang sudah dikumpulkan dan pemetaan hasil-hasil penelitian. Contoh pemetaan ini ada di slide (www.bit.ly/ALLSPEAKER). Analisis juga telah dilakukan oleh tim kelompok kerja dan akan dilanjutkan pada 2020 untuk kerja selanjutnya.

Pemateri keempat yaitu dr. Firdaus Hafidz, MPH, PhD dari Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Asuransi Kesehatan UGM yang menyampaikan Belanja Kesehatan Strategis untuk Tuberculosis.Tim Perumus TB mencoba mengembangkan inovasi untuk memetakan pembiayaan dan belanja. Pertama yang dilakukan yaitu melakukan studi dasar menggunakan sampel data dari BPJS Kesehatan 2015 – 2016 yang hasilnya menunjukkan banyak penderita TB adalah laki-laki. Umur penderita TB yaitu dari muda (umur sekolah). Tingkat FKTP ditunjukkan bahwa 34% FKTP milik pemerintah merujuk penderita TB, sedangkan pada FKTP swasta sebanyak 66% merujuk penderita TB. Siapa saja yang dirujuk yaitu penderita TB Anak yang notabene adalah dari kelompok peserta JKN non PBI. Diagnosis lanjutan dari FKTP tidak dilakukan meskipun di RS mempunyai kelengkapan alatnya, penderita TB tidak diperiksa melalui Laboratorium.

            Hasil dari studi juga menunjukkan bahwa penderita TB merupakan orang yang kompleks atau orang-orang dengan severity yang tinggi missal orang yang sudah tua atau dengan resiko tinggi. Beberapa daerah memiliki komitmen tinggi untuk mengentaskan TB, juga menyediakan dana, dan adanya kegiatan active case finding seperti detektif TB (kader aktif peduli TB), rujuk balik mekanisme, motivasi untuk pasien TB dan staf (seminggu sekali melakukan edukasi melalui media pengajian dan lain - lain.

Tantangannya yaitu, terjadi fragmentasi sumber pembiayaan, pembayaran ke faskes, fregmentasi sistem informasi, dan rujukan yang belum baik.Piloting untuk implementasi TB melihat:

  • Bentuk-bentuk intervensi untuk semua aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan TB
  • Pendekatan memulai suatu aktivitas yang sederhana dan berkembang seiring waktu seperti:
    • ada hukuman untuk yang tidak melakukan
    • insentif non keuangan seperti pelatihan SDM, mengikuti seminar
    • Insentif keuangan
  • Pendekatan memulai dalam skala kecil tetapi komprehensif, ini diperuntukkan untuk fasilitas
    • Farmasi
    • FKTP
    • FKTL
  • Sistem monitoring yang kuat dan berkualitas

Beberapa hal di atas perlu dilakukan dengan melibatkan banyak stakehokder, dan dukungan atau komitmen kuat di pemerintah daerah. Artinya bahwa peran pemerintah daerah sangat besar dalam implementasi belanja kesehatan strategis.

Pemateri terakhir yaitu Eri Setiawan, SE., ME., AAK yang memaparkan Belanja Kesehatan Strategis untuk HIV.Belanja kesehatan strategis untuk HIV mengacu pada kerangka kerja yang tertuang dalamPermenkes 21/2013 tentang Penanggulangan HIV/AIDS. Sebelum melakukan kegiatan ini perlu diperjelas bagaimana cara membeli? Harus melihat apakah yang memang sedang terjadi, masalah-masalah terkait:

-        Stigma penyakit HIV yang luar biasa, termasuk dari petugas kesehatan

-        Pembiayaan preventif yang berkurang -> pembiayaan obat sudah meningkat, tapi preventif menurun, dibiayai donor dan tren menurun

Belanja kesehatan strategis bertujuan untuk pencapaian 90–90-90 dengan merangkul pemerintah pusat dengan meminta beberapa dukungan yang didesain untuk intervensi. Kegiatan ini juga bertujuan untuk memberikan dukungan pada pemerintah daerah dengan memperkuat pembiayaan dan kontrak sosial untuk HIV.

Kegiatan belanja kesehatan strategis juga difokuskan pada akselerasi rencana ART dan intervensi HP+ untuk mendukung target penurunan prevalensi HIV. Poin utama dalam belanja kesehatan strategis yaitu:

-        Rencana percepatan ART akan dengan cepat meningkatkan jumlah ODHA yang diidentifikasi dan dihubungkan dengan fasilitas untuk layanan ART

-        BPJSK menghabiskan lebih dari Rp260 Milyar untuk layanan ART berbasis rumah sakit pada 2017 (naik dari Rp63 Milyar pada 2014)

-        BPJSK dapat mengurangi pengeluaran kesehatannya per ODHA, jika ODHA stabil menerima layanan ART di fasilitas kesehatan primer dibandingkan dengan di rumah sakit

-        Karena rencana percepatan ART meningkatkan jumlah ODHAyang memakai ART, revisi peraturan yang mendukung penyediaan layanan HIV direkomendasikan untuk mempromosikan pengobatan ODHA di fasilitas perawatan primer dan upaya mengendalikan biaya

Dengan demikian belanja kesehatan strategis untuk HIV diarahkan pada bagaimana implementasi percepatan intervensi ART pada ODHA, dengan nantinya akan berdampak pada pembiayaan yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan.

Reporter: M Faozi Kurniawan (PKMK UGM)

7 November

Plenary 5

Impact of Investment in Health on Economy

Moderator: dr. Hasbullah Thabrani, MPH., DrPH

panel 5

Paparan pertama, Current And Future Policy On Investing In Health yang disampaikan oleh Rofyanto Kurniawan, S.T., M.B.A., Ph.D, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan. Kebijakan fiskal Indonesia dipengaruhi berbagai faktor. Kesehatan bisa juga menjadi salah satu sumber peningkatan ekonomi. Untuk itulah dibutuhkan strategi di sektor kesehatan agar bisa memberikan nilai ekonomi. Kebijakan fiskal di negara akan mempengaruhi dan mendukung sektor kesehatan. Seperti hal nya pada saat ini alokasi dana APBN sudah mencapai 5%.

  • Kebijakan dari kementerian keuangan yang terbaru dan strategis pada 2020 yaitu:
  • Insentif pajak untuk mendukung pembangunan manusia dan daya saingnya
  • Memperkuat program perlindungan sosial
  • Mempercepat 4 perjalanan prioritas tujuan utama
  • Memperkuat akun/ item - item keuangan saat ini

Alokasi 5% anggaran kesehatan dari APBN ditujukan untuk meningkatkan kualitas pembiayaan kesehatan di level nasional yang hendaknya juga bisa diikuti di level daerah. Mengoptimalkan penggalian pendapatan pajak dari sektor kesehatan, dan mengupayakan untuk peningkatan gaya hidup sehat melalu Gerakan Masyarakat Hidup Sehat yang sekarang dilakukan. Selain itu alokasi ini juga akan memperkuat anak - anak Indonesia dengan meningkatkan gizi pada anak, perwatan pada ibu yang hamil dan menyusui dan mengurangi anak - anak yang stunting. Infrastruktur untuk kesehatan juga menjadi fokus yaitu dengan meningkatkan kerjasama antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam hal pembangunan infrastruktur kesehatan, termasuk di dalamnya kerjasama dengan pihak swasta.

Untuk JKN pemerintah melalui Kementerian Keuangan juga telah memberikan subsidi penuh melalui skema PBI APBN, kontribusi pembayaran iuran pegawai pemerintah, dan suntikan dana untuk menambal defisit dengan total keselruhan mencapai 41 triliun rupiah pada 2018. Tindak lanjut dari kontribusi pemerintah terhadap JKN yaitu pemerintah dan stakeholder terkait mengupayakan peningkatan sistem dan manajemen JKN, penguatan peran pemerintah daerah di JKN, dan penyesuaian kontribusi iuran JKN.

Paparan kedua, Impact of JKN towards Economic Growth & Development  disampaikan oleh Teguh Dartanto, SE, M.Ec, PhD, Kepala Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia). Suksesnya penyelenggaraan JKN akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi, menjadi pembuka paparan Teguh yang merupakan ekonom dari Universitas Indonesia. JKN ialah asuransi terbesar di dunia yang meng - cover seluruh penduduknya (sekarang belum terjadi) dan merupakan pembiayaan asuransi paling besar. Dari kedua hal yang disebutkan di atas, apa sebenarnya dampaknya bagi  Indonesia terutama di bidang ekonomi?

Di sektor ekonomi, dilihat dari dua level yaitu mikro dan makro. Di level mikro, kita akan melihat perlindungan keuangan dan persamaan hak dalam pelayanan kesehatan serta mobilitas ekonomi yang terjadi. Apabila ditelusur lebih mendalam perlindungan keuangan akan berfokus pada kemiskinan yang semakin diperhatikan.  Persamaan hak ini yaitu pemerintah sudah menyediakan pelayanan kesehatan dan semua orang sama haknya dalam mengakses pelayanan tersebut. Untuk mobilitas ekonomi dilihat dari adanya pembangunan manusia, seperti munculnya kebutuhan dokter - dokter untuk sekolah spesialis, kebutuhan tenaga kesehatan masyarakat dan lainnya.

Level ekonomi makro memperlihatkan pertumbuhan di sektor industri dan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Di sektor kesehatan seperti pertumbuhan rumah sakit dan industri obat atau industri di sektor jasa yang lain. Pertumbuhan ekonomi di level makro ditandai dengan adanya pembangunan manusia yang lebih cepat karena adanya kebutuhan tenaga kesehatan di daerah - daerah terutama di rumah sakit.

Program JKN merupakan permainan baru dalam ekonomi yang secara signifikan akan mengubah lanskap/ peta industri kesehatan. Program JKN mempunyai dampak signifikan pada ekonomi (jangka pendek & jangka panjang) dan pembangunan (kemiskinan, ketimpangan, harapan hidup & kualitas hidup). Program JKN merupakan investasi (bukan biaya) untuk masa depan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Paparan ketiga, Economics of NCDS in Indonesia: Gathering evidence for National Action Plan oleh Alaka Singh, WHO Country for Indonesia. Alaka menyampaikan di awal bahwa pertumbuhan ekonomi juga dipengaruhi beberapa faktor termasuk kesehatan. WHO juga melihat peluang - peluang yang terjadi di kesehatan. Contohnya bagaimana NCD dapat memperburuk ekonomi suatu negara. Hal ini perlu menciptakan investasi untuk program kesehatan dan menggunakan teknik ekonomi dan analisis untuk membentuk keputusan di sektor kesehatan, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Sampai saat itu, pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai prasyarat untuk perbaikan nyata dalam kesehatan. Contoh: prevalensi malaria yang tinggi di beberapa negara Afrika dapat mengurangi PDB setidaknya 1% per tahun. Apabila dilihat lebih jauh dalam laporan bahwa 330 juta DALY/ yang termasuk miskin akan diselamatkan untuk delapan juta kematian yang dicegah setiap tahun - bernilai sekitar US $ 180 miliar per tahun dalam penghematan ekonomi langsung pada 2015.

Untuk itu diperlukan suatu pendekatan, seperti pendekatan cost of sick (COI), metode yang umum digunakan yang bertujuan untuk menangkap dampak ekonomi sosial dari penyakit; berfokus terutama pada pendapatan dan biaya perawatan medis individu yang terkait dengan NCD. Pertumbuhan ekonomi juga menjadi pendekatan, yang memperkirakan dampak proyeksi NCDs pada output ekonomi agregat (PDB) dengan mempertimbangkan bagaimana penyakit - penyakit ini mempengaruhi tenaga kerja, modal, dan factor - faktor lain untuk tingkat produksi di suatu negara. Pendekatan ini juga dipergunakan untuk melihat nilai statistik kehidupan (VSL), yang mencerminkan kesediaan populasi untuk membayar dalam mengurangi risiko kecacatan atau kematian yang terkait dengan NCD. Dengan menempatkan nilai ekonomi pada kesehatan itu sendiri, pendekatan ini berdampak hanya pada NCD terhadap PDB.

Akhirnya, WHO merekomendasikan bahwa untuk mencapai UHC juga perlu melihat System Building Blocks dan tujuan keseluruhan atau outcomes.

Paparan keempat, Health investment and economic growth: Insights from Australia oleh Virginia Wiseman, Kirby Institute, UNSW, London School of Hygiene & Tropical Medicine. Investasi kesehatan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, pendapat awal Wiseman pada kesempatan ini. Pengeluaran sistem kesehatan dapat berkontribusi untuk:

  • Hasil kesehatan yang lebih baik
  • Pertumbuhan pekerjaan
  • Produktivitas tenaga kerja
  • Produk domestik bruto
  • Perlindungan sosial dan pengurangan pemiskinan

Wiseman mengambil contoh apa yang dilakukan di Australia terhadap suku aborigin dan tores serta masyarakat kurang mampu. Layanan kesehatan Australia telah berhasil mengurangi kematian melalui:

  • Perbaikan dalam tindakan keselamatan jalan
  • Turunnya tingkat merokok
  • Perbaikan dalam pencegahan, deteksi dan pengobatan penyakit seperti penyakit kardiovaskular dan penyakit kronis lainnya.

Ini dapat diilustrasikan melalui hubungan antara layanan kesehatan pengeluaran dan kematian yang bisa dihindari. Hal yang perlu dicontoh yaitu pengendalian tembakau. Perbaikan kesehatan dikaitkan dengan:

  • Kampanye kesehatan masyarakat selama beberapa dekade
  • Adanya kebijakan - kebijakan terbaru yang dijadikan undang - undang seperti kemasan tanpa ijin, pajak tembakau dan larangan merokok.

Apa pesan penting dari contoh – contoh ini yaitu bahwa sistem kesehatan dapat memainkan peran penting dalam perekonomian melalui:

  • Hasil kesehatan yang lebih baik
  • Pertumbuhan pekerjaan
  • Produktivitas tenaga kerja
  • Produk domestik bruto
  • Perlindungan sosial dan pengurangan pemiskinan

Bukti pertumbuhan ini memberikan banyak tujuan ekonomi dan fiskal bagi negara yang sistem kesehatan dengan sumber daya yang memadai dan tersedia dengan stabil.

Reporter: M. Faozi Kurniawan (PKMK UGM)

Plenary 6

Using claim data for evidence generation (BPJS Kesehatan)

panel 6 

Sesi ini diisi oleh hasil penelitian dengan menggunakan Data Sampel BPJS Kesehatan 2015 - 2016, yang diuraikan sebagai berikut:

1)     The Behavior of Informal Workers: A Case Study of Deliveries in The National Health Security Program oleh Dedy Revelino Siregar, M.Si. yang memaparkan tentang trend peserta PBPU dalam membayar iuran JKN, sebelum dan setelah menggunakan layanan kesehatan yang cenderung menurun. Penggunaan layanan kesehatan dalam sektor informal tersebut didominasi oleh individu dengan rentang umur 25 - 29 tahun, dengan penggunaan kelas III.

2)     Defining and financing financially catastrophic illnesses in the Context of National Health Insurance in Indonesia: What Could Be Done oleh Hardiawan, secara singkat dipaparkan bahwa katastropik adalah salah satu faktor penyebab defisit BPJS Kesehatan. Penelitian ini dilakukan untuk mendefinisikan secara tuntas penyakit katastropik dan anggaran yang dibutuhkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa klasifikasi penyakit katastropik sangat dinamis dan tergantung tingkat keparahan, bahkan tidak semua penyakit jantung dapat didefinisikan sebagai penyakit katastropik. Sebuah sistem klasifikasi diperlukan untuk menentukan penyakit katastropik tentunya juga perlu memperhatikan periode tertentu.

3)     Rapid Assessment Under Unideal Situation The Impact of Indonesian National Health Insurance on Poverty: A Microsimulation oleh Goldy Fariz Dharmawan, dipaparkan bahwa penelitian ini menerapkan pendekatan yang sangat jarang digunakan, yakni pendekatan deterministic microsimulation yang dapat dikatakan akan banyak memunculkan asumsi - asumsi dari pembaca terkait hasil penelitian ini. Peneliti menyimpulkan bahwa program JKN memiliki dampak positif dimana dapat menyelamatkan sampai satu juta penduduk dari kemiskinan akibat sakit.

4)     Introducing Global Budget Payment System oleh Kedeputian Bidang Riset dan Pengembangan BPJS Kesehatan, dalam paparan ini disampaikan bahwa BPJS Kesehatan berupaya untuk mengujicobakan kelayakan sistem pembayaran yang merupakan gabungan antara INA CBGs dengan Global Budget. Tantangan data yang dibutuhkan dalam Penghitungan GB: a. Cost Weight, b. Hospital Based Rate (Adj Faktor seperti Kepemilikan, Regional Tarif dan Kelas rawat), c. Volume dan Kapasitas RS (BOR, ALOS, Jml TT), d. Jumlah Kasus per CBG e. Jumlah Kasus Non CBG, f. TopUp, g. Casemix dan Casemix Index, h. Prediksi Jumlah Kasus (per kelas rawat dan tingkat pelayanan), i. Jumlah dan target peserta JKN. Global budget dalam program JKN ini dapat berhasil apabila:

1.   Costweight dan Hospital Based Rate dapat diketahui oleh masing - masing RS

2.  Memiliki mapping Supply seperti kapasitas, kompetensi dan jumlah faskes (menambah supply akan menyebar pasien)

3.   Penyempurnaan pengelolaan kontrak dengan faskes berdasarkan kapasitas dan kompetensi

4.   Penguatan dan keterlibatan FKTP

5.Penguatan peran Pemda untuk mengelola sistem kesehatan wilayah Kabupaten/ Kota termasuk awareness atas data epidemiologi, biaya kesehatan dan pengelolaan UKM/UKP.

 

Reporter: Tri Aktariyani (PKMK UGM)

Plenary 7

Challenges of NCDs under JKN/ Tantangan Penyakit Tidak Menular di Era Jaminan Kesehatan Nasional

 

plenary 7

PKMK - Bali. Sesi ini dimoderatori oleh Dr. drg. Julita Hendrartini, M.Kes. selaku sekretaris InaHEA untuk membahas tantangan penyakit tidak menular (PTM). Dr Julita mengungkapkan bahwa PTM merupakan klaim terbanyak dan memerlukan langkah yang komprehensif untuk mengatasi masalah tersebut. Dr Julita memoderatori pemaparan dari Dr. dr. Dewa Putu Gde Purwa Samatra , Sp.S(K), dr. Donald Pardede, MPPM, dr. Mursyid Bustami, Sp.S (K), KIC, MARS dan Dr. Mundiharno, M.Si yang diwakili oleh Benjamin Suat MM, AAK.

Pemaparan pertama dari Dr. dr. Dewa Putu Gde Purwa Samatra, Sp.S(K) selaku Direktur Rumah Sakit Universitas Udayana menyampaikan materi tentang Supply Side in Facing The Challenge Of NCDs - How Well Are We Prepared?. Jumlah ketersediaan rumah sakit di era JKN sangat bervariasi dan dalam melayani peserta JKN menghadapi banyak tantangan apalagi untuk penyakit tidak menular dengan catatan memiliki cost yang sangat besar. Banyak rumah sakit yang resah dan gelisah terhadap isu defisit JKN karena ketakutan tidak dibayar klaim layanan peserta JKN. Rumah sakit juga menghadapi masalah sangat besar dengan adanya keterbukaan akses sehingga harus berhati - hati dalam menjalankan bisnisnya.

dr. Donald Pardede, MPPM selaku Penasihat Khusus Menteri Kesehatan untuk Pembangunan dan Pembiayaan Kesehatan memaparkan How Should Policy Makers Tackle NCD Issue?. Beberapa faktor risiko PTM yang harus dipahami oleh pemangku kepentingan adalah penggunaan tembakau, konsumsi alkohol, diet yang tidak sehat, polusi lingkungan dan kekurangan aktivitas. Upaya yang harus diambil bermacam - macam mulai dari memperkuat kontrol tembakau, termasuk dengan menaikkan cukai pada produk tembakau, Pajak dan pengaturan yang lebih baik, produk makanan dan minuman yang terkait langsung dengan obesitas, diabetes, penyakit jantung dan NCD lainnya, meningkatkan pemahaman publik tentang bagaimana makanan dan minuman dapat menjadi pendorong NCD; meningkatkan efisiensi dan dampak dari rupiah kesehatan yang ada dengan merealokasi sumber daya kesehatan yang langka ke pencegahan primer dan sekunder NCD yang ditargetkan; memperkuat basis bukti untuk perencanaan investasi dan efektivitas program yang lebih baik untuk memastikan intervensi berfungsi sebagaimana dimaksud dan memberikan nilai uang pemerintah harus diprioritaskan untuk: penyakit kardiovaskular (CVD), diabetes, COPD dan kanker.

Pemaparan ketiga dari dr. Mursyid Bustami, Sp.S (K), KIC, MARS selaku Direktur Utama RS Pusat Otak Nasional Indonesia tentang Stroke Management Under JKN. Stroke menjadi beban utama bagi sistem perawatan kesehatan Indonesia. Dalam Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran 2019 dihimbau adanya manajemen Standardisasi Nasional diperlukan diterapkan untuk memastikan efektivitas biaya tertinggi. Tiga pertimbangan utama dalam perhitungan ekonomi kesehatan pada stroke yaitu 1) biaya stroke tidak terbatas pada biaya awal tetapi terus menerus sehingga pasien juga mengalami penderitaan kualitas hidup (kehilangan pekerjaan / produktivitas, terbaring di tempat tidur, perawatan khusus, dan lain - lain.); 2) peneliti membutuhkan data per daerah karena biaya stroke dalam studi besar sangat bervariasi antar negara; 3) penekanan pada efektivitas biaya perawatan.

Paparan terakhir dari Benjamin Suat MM AAK mewakili Direktur Perencanaan, Pengembangan dan Manajemen Risik tentang How Did BPJS Kesehatan Respon? Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2018 menjelaskan bahwa harus dilakukan upaya promotif dan preventif seperti penyuluhan kesehatan, imunisasi rutin dan sebagainya sehingga BPJS Kesehatan perlu bersinergi dengan Kementerian Kesehatan. BPJS Kesehatan telah menyebutkan bahwa penyakit tidak menular menghabiskan sekitar seperlima dari seluruh anggaran JKN dan diperkirakan biaya dan persentase kemungkinan akan meningkat. JKN memiliki program promosi kesehatan dan pencegahan penyakit yang relatif terbatas dan hanya berfokus pada kesehatan individu daripada kesehatan masyarakat. Sebagian besar terdiri dari pemeriksaan kesehatan, tindak lanjut, dan program manajemen penyakit kronis. Pemerintah Indonesia perlu memodifikasi sistem pembayaran penyedia (kapitasi berbasis kinerja) adalah strategi untuk mengendalikan atau membatasi perkembangan penyakit tidak menular

 

Reporter: Relmbuss Biljers F (PKMK UGM)

Plenary 8

Improving Quality of MNH Using Strategic Health Purchasing

panel 8

Tantangan yang nyata untuk kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dalam era JKN ialah biaya tinggi dan peningkatan kasus C- Sectio di rumah sakit, utilisasi yang rendah KIA di FKTP, dan kualitas/kuantitas pelayanan yang belum mampu terukur. Hal yang terjadi sedikit sekali bidan yang dikontrak oleh puskesmas/FKTP, tarif yang dinilai bidan terlalu rendah, administrasi reimbursement yang terbilang rumit. BPJS Kesehatan menilai solusi yang mampu menghadapi persoalan tersebut salah satunyya dengan menyederhanakan administrasi klaim, namun tetap mempertimbangkan mutu dan efektivitas pelayanan KIA.

Kemudian, peneliti dari Universitas Indonesia yang bekerja sama dengan JALIN/USAID dan JHIPIEGO pada 2004 - 2005 mengembangkan metode pengukuran AKI yang disebut MADE-IN/MADE-FOR & NODE-IN/NODE-FOR, dan hasilnya pada 2015 - 2017 AKI lebih turun dari tahun sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua kematian Ibu yang mendapatkan section memiliki jaminan pembiayaan kesehatan, dan yang terbanyak ialah penggunaan jamkesda yang langsung merujuk rumah sakit (jampersal). Dalam penggunaan jaminan kesehatan baik dengan BPJS Kesehatan maupun jamkesda masih ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan oleh pasien. Beberapa data yang ditampilkan menunjukkan bahwa terjadi pergeseran tempat kematian Ibu yang tadinya mayoritas di rumah, menjadi di fasilitas kesehatan. Peningkatan akses layanan kesehatan besar kemungkinan dipengaruhi oleh JKN.

Sebagian besar kematian Ibu dan bayi baru lahir terjadi pada periode yang sangat singkat, yaitu pada saat persalinan dan dalam 24 jam pertama pasca salin/lahir. Artinya, peningkatan pelayanan di rumah sakit sangat krusial. Selanjutnya, perlu penelitian mengenai determinan penggunaan jaminan pembiayaan kesehatan, termasuk pemahaman tenaga kesehatan mengenai implementasi dan regulasi terkait pelayanan KIA dan prosedur penggunaan jaminan kesehatan.

Terkait pemahaman regulasi, penelitian selanjutnya memaparkan integrasi pembiayaan SPM dengan JKN untuk Strategic Health Purchasing. SPM diatur dalam Permenkes Nomor 4 Tahun 2019 yang mengatur mengenai 12 pelayanan kesehatan yang harus disediakan pemerintah daerah. Perencanaan dan implementasi SPM tersebut dilakukan dengan dana - dana APBD, BOK, Jampersal dan JKN. Perlu diketahui bahwa SPM membidik program promotif dan preventif untuk melakukan screening dini agar pembiayaan kuratif dapat ditekan.

Penelitian ini mengidentifikasi bahwa terdapat  duplikasi pendanaan dalam SPM dan JKN. Menurut Permenkes Nomor 52 Tahun 2016 pembiayaan JKN terbagi menjadi 2 yaitu di FKTP/Puskesmas (Kapitasi dan Non-kapitasi), dan FKTL/Rumah sakit (INA CBGs dan Non INACBGs). Potensi duplikasi pendanaan potensi banyak terjadi di FKTP yakni dalam perencanaan dan implementasi program promotif dan preventif. Tantangan yang dihadapi ialah masih terbatas kualitas dan jumlah tenaga kesehatan di puskesmas, belum ada regulasi yang mengatur pembagian pembiayaan SPM dan JKN, serta belum terdapat monitoring tools implementasi SPM oleh pemerintah daerah. Pembiayaan yang bisa overlapping ini dapat inefisiensi.

Penelitian ini merekomendasikan agar pembiayaan KIA oleh JKN sebaiknya hanya diberikan pada klinik swasta saja. Kemudian perlu dilakukan evaluasi terhadap program JKN, dan gap yang perlu diisi antara pembiayaan JKN dan SPM. Pemerintah daerah dalam mengoptimalkan pembiayaan SPM perlu menyediakan tetanus toxoid vaccine, HIV Test, syphilis test and tes hepatitis di klinik swasta.

 

Reporter: Tri Aktariyani (PKMK UGM)

8 November

Plenary 9

Tobacco Excise Policy as Tobacco Control Instrument in Indonesia

plenary 9

PKMK – Bali. Sesi plenary IX yaitu “Tobacco Excise Policy as Tobacco Control Instrument in Indonesia. Pemateri yang mengisi sesi ini antara lain Rofyanto Kurniawan, S.T., M.B.A., PhD dari Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Kementrian Keuangan, Sunary dari Direktorat Jenderal Bea Cukai, dan Dr. Abdilah Hasan dari Pusat Ekonomi dan Bisnis Islam, Universitas Indonesia.

Rofyanto Kurniawan menyampaikan materi tentang “Tobacco Excise Policy as Tobacco Control Instrument in Indonesia”. Salah satu instrumen pengendalian tembakau paling efektif adalah dengan menaikkan cukai rokok. Pada 2020, pemerintah akan menaikkan cukai rokok sampai 20% dan menaikkan harga rokok hingga 35%. Dengan adanya kebijakan ini diharapkan dapat menurunkan jumlah perokok. Jikamelihat jumlah perokok pada 2016 - 2018, prevalensi perokok masih meningkat terutama pada perokok laki - laki, namun produksi rokok terus menurun tiap tahun. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan ketika menaikkan cukai rokok adalah 1) kecenderungan perokok remaja semakin meningkat; 2) RT yang merokok memiliki 5,5 kali resiko tinggi; 3) kebiasaan merokok bisa mengganggu keberlanjutan program JKN; 4) Big Economic Burden; 5) rokok termasuk 5 penyakit penyebab kematian di Indonesia. Meskipun cukai rokok dinaikkan, namun pajak cukai rokok digunakan untuk mendukung program kesehatan antara lain 2% digunakan untuk Indonesia life span, sekitar 50% dipakai untuk mendukung program JKN, 37,5% digunakan untuk menanggulangi defisit JKN. Ke depannya kebijakan cukai tembakau perlu dirumuskan dengan mempertimbangkan tujuan kebijakan (mengendalikan konsumsi, kondisi industri, mengoptimalkan penerimaan negara), dan perlu koordinasi antara pusat dan daerah untuk mendukung pajak rokok pada program kesehatan.

Pembahas kedua, Sunary menyampaikan materi tentang “Illicit Cigarettes Law Enforcement and Other Non-Tax Policy in Tobacco Control”. Pada kesempatan ini juga, Sunaryo menyampaikan dalam pengendalian masalah rokok di Indonesia tidak hanya fokus pada yang rokok legal, tetapi juga fokus pada yang ilegal karena jika tidak diperhatikan, ada 2 kerugian bagi negara yaitu dari aspek pengendalian tidak tercapai, dan aspek revenue tidak tercapai. Masalah rokok ilegal mengakibatkan negara tidak mendapatkan penerimaan, sedangkan dari sisi konsumsi menyebabkan masalah kesehatan. Dirjen Bea Cukai menggunakan dua instrumen dalam memerangi rokok ilegal yaitu melalui pendekatan administrasi dan pendekatankebijakan. Dari aspek administrasi, Dirjen Bea Cukai menggunakan law enforcement melalui direktorat penindakan. Upaya lain yang dilakukan dengan menggunakan tools yang menekan produksi dimana pabrik setiap 2 minggu mengirim laporan terkait berapa jumlah yang diproduksi, merknya apa, dan jenisnya apa, serta apabila ada pabrik yang selama setahun tidak aktif, rekomendasi pelayanan dicabut. Selain itu, Dirjen Bea Cukai juga melakukan kampanye dan edukasi tentang rokok ilegal sehingga konsumen maupun distributor mengetahui bahaya rokok ilegal. Dari aspek kebijakan, Dirjen Bea Cukai melakukan join komitmen dengan kepolisian, KPK, Kejaksaaan, TNI, dan KPPU. Hal ini sangat efektif menurunkan dan mengontrol konsumsi hingga 3%. Selain itu, kebijakan non tax juga diberlakukan dimana publik tidak bisa submit merk baru dengan harga rendah, jika ada pabrik memiliki 2 jenis harga maka yang dipilih adalah harga minimun dan tidak boleh harga baru, larangan menjual harga rokok di bawah 80% dari yang ditetapkan serta apabila ada transfer antar pabrik atau pindah merk maka hanya berlaku 6 bulan.

Pembahas ketiga, Dr. Abdilah Hasan menyampaikan materi tentang ”Local Cigarette Tax As Sustainable Funding For Tobacco Control In Indonesia”. Merokok merupakan salah satu faktor utama NCD sehingga penting sekali untuk menurunkan konsumsi rokok. Menurunkan konsumsi rokok ini tidak mudah, membutuhkan kebijakan baik fiskal maupun non fiskal. Fiskal terkait dengan pajak rokok dan cukai. Dan non fiskal seperti peringatan kesehatan bergambar, pengelolaan promosi sponsorship rokok, dan kawasan tanpa rokok. Ada 2 kebijakan pendanan kesehatan yang berasal dari cukai dan pajak rokok. Pertama: rokok dikenakan cukai, pajak rokok daerah dan PPN. Dari sisi revenue APBN berasal dari tarif cukai dan dari tarif pajak rokok daerah sedangkan dari sisi expenditure - nya, dana dari cukai dan pajak rokok sudah diatur digunakan untuk kesehatan masyarakat. Berdasarkan UU No 39 Tahun 2007, ada dana bagi hasil cukai tembakau pada pasal 66 dimana 2% dari penerimaan cukai dikembalikan pada daerah yang digunakan untuk 5 alokasi, salah satunya adalah untuk kesehatan. Kedua: dari pajak rokok daerah,  UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak retribusi daerah menyatakan pajak rokok sebagai pajak provinsi yang tarifnya 10% dari tarif cukai, dan 50% digunakan untuk kesehatan masyarakat. Ini yang bisa digunakan untuk sebagai pendanaan kesehatan seperti untuk promosi kesehatan maupun JKN.

Reporter: Candra (PKMK FK - KMK UGM)

MATERI SEMUA PRESENTER 

 

 

Comprehensive Approach to Reduce Complication In Dibaetes

(Pendekatan Komprehensif untuk Mengurangi Komplikasi Diabetes)

Prof. Dr dr. Ketut Suastika, Sp.PD (KEMD)

Bali, November 2019. Pada sesi ini disampikan oleh Prof. Dr dr. Ketut Suastika, Sp.PD selaku ketua PERKENI.  Pada kesempatan ini Suastika menyampaikan bahwa Indonesia merupakan peringkat ke 6 tertinggi tingkat penduduk penderita diabates di Dunia. Kalau dilihat dari Riskesdas dari 2007-2018 menunjukkan prevalensi diabetes meningkat cukup tajam dari 5,7 menjadi 10,9. Dari prevalensi yang diketahui, lebih dari 2/3 pasien-pasien dengan undiagnose. Undiagnose merupakan ancaman besar bagi populasi yang apabila tidak ditangani, pasien undiagnose dan prediabetes akan menjadi komplikasi diabetes yang tidak hanya menyebabkan kesakitan, tapi juga kematian dan beban BPJS Kesehatan terkait dengan komplikasi menjadi sangat besar. Apabila hal ini dibiarkan, dalam kurun waktu 5 tahun akan meningkat sampai 50% menjadi diabetes. Jadi yang mengancam kita tidak hanya yang dibetes tetapi juga prediabetes. “tutur suastika.

Lebih lanjut Suastika menyatakan untuk menurunkan angka diabetes, PERKENI telah melakukan penelitian DiabCare dari tahun 1998-2012 yang menunjukkan target HbA1c tidak pernah meningkat, dan HbA1c <7 tetap pada 30%. Hal ini menyatakan seolah-olah apa yang dikerjakan selama ini baik pendidikan, pelayanan tidak membaik. Studi lain tentang dampak dari penyakit Diabetes baik mikro maupun makro vaskuler menunjukkan bahwa Indonesia kurang responsif dalam mengelola penyakit diabetes. Tingginya penderita komplikasi diabetes ini menjadi penyerap anggaran terbesar dana BPJS Kesehatan.

Tantangan dalam penanganan diabetes di Indonesia antara lain masih tingginya angka prediabetes dan penderita diabetes, banyak pasien dengan diabetes belum mencapai target glukosa, sebagian besar pasien dengan diabetes belum cukup agresif dalam mengendalikan faktor risiko, banyak pasien dengan diabetes memiliki kepatuhan yang rendah untuk terapi dan anggaran relatif rendah, dan pengeluaran/biayanya hampir berasal dari komplikasi. Lebih lanjut, Suastika menyatakan health lifestyle modification adalah pilihan yang paling tepat untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama dalam menangani masalah diabetes.

 

Reporter: Candra

pendaftaran-alert

regulasi-jkn copy

arsip-pjj-equity

Dana-Dana Kesehatan

pemerintah

swasta-masy

jamkes

*silahkan klik menu diatas

Policy Paper

Link Terkait

jamsosidthe-lancet