Duit BPJS Kesehatan Habis Membiayai Penyakit Tidak Menular

PALMERAH--- Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah berjalan selama empat tahun. Selama itu pula masyarakat merasakan manfaat atas akses kesehatan itu.

Namun, berbagai permasalahan pelayanan kesehatan juga turut mengiringi.

Yang teranyar adalah defisit yang dialami BPJS Kesehatan hingga membuat Presiden Joko Widodo turut bersuara.

Menteri Kesehatan Nila Juwita Moeloek, mengatakan, selain tuntutan akses pelayanan kesehatan masyarakat, tantangan lain yang harus dihadapi sangat besar.

Pertama, adanya transisi epidemiologi. Hal ini terlihat dari banyaknya penyakit menular menjadi penyakit tidak menular (PTM) yang juga membuat meningkatnya pembiayaan kesehatannya.

"Biaya penyakit tidak menular ini memang benar salah satu yang membuat BPJS mengalami kesulitan sebab 35 persen belanjanya BPJS habis untuk manfaat medis dari penyakit tidak menular ini," kata Nila, beberapa waktu lalu.

Nila bersyukur hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 (Riskedas 2018) yang dirilis oleh Litbang Kemenkes memberikan beberapa hasil yang baik.

Satu di antaranya adalah angka stunting turun dari 37,2 (persen) menjadi 30,8, kendati masih di bawah angka WHO.

"Namun sedihnya, di sisi lain angka penyakit tidak menular meningkat luar biasa. Diabetes dari 6,8 (persen) menjadi 8,2. Juga hipertensi dan penyakit-penyakit lain, termasuk angka hipertensi dan merokok pada anak-anak yang sekarang menjadi 9 (persen), di mana dalam RPJMN (diharapkan) menjadi 5. Ini tugas berat kita semua," katanya.

Masih banyak permasalahan lain program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Salah satunya adalah akses layanan kesehatan berkualitas bagi pasien penyakit kronis, misalnya para pasien gagal ginjal kronis (GGK) tahap akhir yang harus menjalani perawatan cuci darah atau dialisis.

Seperti diketahui, pasien dialisis harus menjalani prosedur ini sepanjang hidupnya, sebagai bentuk terapi pengganti ginjal yang sudah tidak dapat berfungsi secara normal.

Artinya, pemerintah beserta seluruh pemangku kepentingan tidak dapat menutup mata terhadap dampak ekonomi dan sosial dari populasi ini baik jangka pendek dan jangka panjang.

Biaya dialisis yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan pada dua tahun terakhir, yakni 2016 dan 2017 adalah Rp 3,9 triliun dan melonjak ke angka Rp 4,6 triliun, menempati posisi kedua tertinggi dari biaya penyakit yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan.

Jika dibedah lebih lanjut, pada tahun 2017 berdasarkan jumlah kunjungan 4.200.678 dan jumlah pasien dialisis berdasarkan nomor kartu kepesertaan yaitu 73.737 pasien, didapatkan rata-rata kunjungan adalah 56 kali per tahun.

Angka ini hanya 58 persen dari idealnya jumlah kunjungan 96 kali setahun (dengan asumsi 8 kali kunjungan per bulan).

Artinya, utilisasi hemodialisa masih belum optimal, yang dipengaruhi faktor kepatuhan pasien, faktor pasien meninggal dunia, atau adanya hambatan akses pasien untuk mendapatkan perawatan, seperti proses rujukan berjenjang yang berbelit, atau minimnya jumlah fasilitas hemodialisis.

Kenyataan yang terjadi dengan tingginya defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan harus disoroti dan ditindaklanjuti secara serius. Biaya penyakit katastropik yang cukup tinggi, seperti contohnya dialisis tidak dapat diabaikan.

sumber: http://wartakota.tribunnews.com

Berita Tekait

Policy Paper