Pemerintah Suntik Lagi BPJS Rp 5,6 Triliun, Total Tahun Ini Rp 10,5 T

BPJS kesehatan

Pemerintah bakal menggelontorkan bantuan lanjutan sebesar Rp 5,6 triliun untuk menambal defisit keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Dengan demikian, total dana bantuan untuk BPJS Kesehatan mencapai Rp 10,5 triliun tahun ini.

"Dari Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan sudah rapat. Artinya sudah ditentukan suntikan kedua Rp 5,6 triliun. Jadi totalnya Rp 4,9 triliun (suntikan tahap pertama) plus Rp 5,6 triliun," kata Kepala Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma'ruf kepada Katadata.co.id, Senin (26/11) malam. Adapun suntikan tahap pertama telah cair pada akhir September lalu.

Menurut dia, besaran bantuan tersebut mengacu pada hasil perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Bantuan tersebut untuk menutup tunggakan ke penyedia fasilitas kesehatan, termasuk denda atas keterlambatan pembayaran.

Sesuai ketentuan, denda keterlambatan sebesar 1% per bulan. Namun, ia menjelaskan denda keterlambatan telah diminimalkan lewat kerja sama berupa talangan dari perbankan untuk Faskes. Dengan begitu, denda yang harus dibayarkan bisa lebih ringan sekitar 0,75-0,8% per bulan.

Total bantuan untuk BPJS Kesehatan tahun ini yang sebesar Rp 10,5 triliun tersebut mendekati prognosis defisit versi BPKP yaitu Rp 10,58 triliun. Adapun manajemen BPJS Kesehatan memprediksikan defisit yang lebih besar yakni Rp 16,58 triliun, yang terdiri dari akumulasi defisit tahun lalu Rp 4,4 triliun, ditambah proyeksi defisit tahun ini yang mencapai Rp 12,1 triliun.

Akhir Oktober lalu, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo memaparkan, defisit BPJS Kesehatan disebabkan defisit pada layanan untuk peserta BPJS kategori pekerja informal, peserta didaftarkan pemerintah daerah (Pemda), dan bukan pekerja.

"Yang membuat worse adalah pekerja informal menghabiskan Rp 13,3 triliun sendiri dari awal tahun hingga September," ujarnya. Angka Rp 13,3 triliun ini merupakan selisih negatif lantaran iuran yang dibayarkan yaitu sebesar Rp 8,5 triliun, jauh lebih kecil dibandingkan dengan beban yang ditanggung BPJS sebesar Rp 20,3 triliun.

Selisih negatif juga dialami peserta kategori bukan pekerja yaitu sebesar Rp 4,35 triliun, dan peserta yang disalurkan Pemda sebesar Rp 1,44 triliun. Di sisi lain, Penerima Bantuan Iuran (PBI) justru mencatatkan selisih positif alias surplus sebesar 3,2 triliun. Begitu juga dengan peserta kategori Aparatur Sipil Negara, TNI dan Polri surplus Rp 706,7 miliar, dan pekerja formal swasta surplus Rp 7,8 triliun. Dengan demikian, 

Selain suntikan dana, pemerintah membuat sederet kebijakan untuk menekan defisit BPJS Kesehatan. Kebijakan yang dimaksud di antaranya pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 183 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Tunggakan Iuran Jaminan Kesehatan Pemerintah Daerah Melalui Pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil.

Selain itu, penggunaan paling sedikit 50% Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) guna mendukung Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) secara tidak langsung, seperti kegiatan promotif-preventif dan penyediaan atau perbaikan sarana fasilitas kesehatan. Kebijakan ini seiring pemberlakuan PMK 222 Tahun 2017 tentang Penggunaan DBH-CHT.

Dalam rapat dengan DPR pada September lalu, Kepala BPJS Fachmi Idris menyebut defisit belum mencapai puncaknya. Ini artinya, defisit berpotensi semakin bengkak. “Defisit belum mencapai puncaknya karena pemanfaatan program ini belum sampai tingkat maturitasnya,” kata Fachmi.

Adapun tangga defisit BPJS Kesehatan memang tercatat terus meningkat. Pada 2014, defisitnya mencapai Rp 3,3 triliun, pada 2015 defisit menjadi Rp 5,7 triliun, 2016 defisit mencapai Rp 9,7 triliun, tahun lalu Rp 9,75 triliun, dan tahun ini diproyeksikan BPKP sebesar Rp 10,58 triliun.

Berita Tekait

Policy Paper